Sabtu, 12 Mei 2012

Urgensi Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah Dalam Mendukung Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas Dalam Era Otonomi Daerah


 
Arifin Rudiyanto *)

 

‘Politics has been defined as the art of the possible ..........
Planning should be the art and science of the impsossible’
(Russell Ackoff, 1977)

Pendahuluan

Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa yang lalu ditekankan pada pertumbuhan  (growth) ternyata telah menimbulkan berbagai ketimpangan (disparity). Manfaat pembangunan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat lapisan atas, sehingga terjadi kesenjangan sosial (social gap) yang besar. Orientasi pertumbuhan tersebut hanya mendorong perkembangan usaha dan industri skala besar serta kelompok-kelompok tertentu, sehingga terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha menengah-besar (UMB). Pendekatan sektoral yang diharapkan dapat membentuk keterkaitan (lingkaged) ternyata telah menumbuhkan ”ego sektoral” yang juga menyebabkan ketimpangan sektoral. Begitu juga terjadinya ketimpangan wilayah, khususnya antara desa-kota, lebih banyak diakibatkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang memiliki pertumbuhan cepat. Selain itu, ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumberdaya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis, dan kemudian kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi kota dan desa.

Sejalan dengan permasalahan tersebut, terdapat persoalan yang sebetulnya memerlukan penanganan yang sangat serius yaitu kesenjangan antar daerah serta kesenjangan antara sektoral dan daerah. Secara empiris, kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor: (i). struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang menjadi basis ekspor dengan orientasi domestik; (ii).potensi regional (sumber daya alam, lingkungan, kelembagaan, asset pengalaman dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang beruntung memiliki sumberdaya berbasis ekspor, maka daerah-daerah ini secara relatif lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar; dan (iii). kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Adanya kerangka kelembagaan yang kokoh akan sangat mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok (supplier) maupun pihak hilirnya.


Keterpaduan & Koordinasi Dalam Pengembangan Wilayah

           
Berkaca kepada pembangunan daerah (regional development)  selama ini, yang sesungguhnya merupakan pembangunan sektoral di daerah, merupakan asal muasal kesenjangan antar wilayah dan cermin kegagalan koordinasi dan keterpaduan dalam pembangunan wilayah. Sesuai dengan visi dan misi otonomi daerah, maka perubahan paradigma harus dilakukan, sehingga pendekatan-pendekatan pembangunan kewilayahan dapat benar-benar mampu memanfaatkan dan mengelola potensi sumber daya daerah bagi sebesar-besarnya kesejahtraan masyarakat di daerah itu sendiri.
           
Perwujudan strategi pengembangan daerah secara praktis sebenarnya terletak pada aktualisasi konsep pembangunan wilayah secara utuh dan terpadu (comprehensive and integrated area development concept). Prinsip penting dalam pelaksanaan pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu adalah kemampuan menemukenali potensi wilayah yang ada untuk dikembangkan dengan berbagai masukan program pembangunan. Ciri dari pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu adalah kemampuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas fungsi perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Prinsip-prinsip yang dianut adalah: (1) azas keseluruhan (comprehensive) sektor dan daerah secara terpadu, bukan lagi ‘penjumlahan’ (agregative) masing-masing sektor secara terpisah, mengingat proses awal perencanaan diletakkan dalam kebutuhan suatu wilayah secara keseluruhan, yang nantinya akan diterjemahkan kedalam spesifikasi masing-masing sektor, sehingga pelaksanaan pembangunan masing-masing sektor secara otomatis akan berakumulasi dalam mendukung sasaran pembangunan wilayah yang menjadi konsep indunya; (2) azas saling keterkaitan (lingkaged) diantara masing-masing sektor dan daerah secara signifikan, mengingat semua sektor berada dalam suatu kerangka perencanaan pembangunan daerah yang utuh.
           
Pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu akan mampu mewujudkan pembiayaan pembangunan yang efisien, mengingat tidak terdapat lagi duplikasi dan tumpang tindih (overlaping) antarsektor serta dengan daerah, sehingga pembiayaan pembangunan tidak lagi membutuhkan pembiayaan penganggaran yang mahal. Dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan melalui pendekatan pembangunan yang utuh dan terpadu tersebut, seyogyanya memenuhi kondisi-kondisi, yaitu: (1) melibatkan stakeholder yang terkait baik dari unsur pemerintah maupun non pamerintah, dan (2) melibatkan berbagai tingkat pemerintahan atau penyelenggaraan negara. Pada kondisi pertama, maka proses penyusunan konsep pembangunan harus menjadi proses interaksi lintaspelaku yang terbuka dan sistemik. Artinya, tahap-tahap sosialisasi, dialog, diskusi, dan publik policy hearing/consultation harus secara intensif dilakukan dilakukan bersama-sama di antara seluruh stakeholders. Inti proses perencanaan tersebut adalah memadukan dua alur proses perencanaan, yaitu, antara perencanaan yang dilakukan oleh unsur pemerintah sebagai pihak eksekutif dan yang dilakukan unsur non pemerintah, yang difasilitasi oleh pihak legislatif. Keterpaduan dan sinkronisasi antara kedua bentuk perencanaan tersebut pada akhirnya bermuara pada terjadinya pada keputusan publik untuk mewudkan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah yang didukung kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Sementara pada kondisi yang kedua, proses penyusunan konsep tersebut merupakan proses levelling dua arah yang mamadukan bentuk bottom up planning – mulai dari level desa, kecamatan, kabupaten/kota sampai dengan propinsi – dan top down policy – mulai dari propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa.


Pendekatan Sektoral dan Daerah


Pengamatan tentang proses pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari system ekonomi-politik negara yang bersangkutan. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan (hirarki 2), untuk mencapai suatu tujuan pembangunan nasional (hirarki 1); sub-pertanyaan dapat berbentuk: berapa banyak harus diproduksi, dengan cara atau teknologi apa, dan kapan produksi dimulai. Setelah tahapan hirarki tersebut selesai, baru muncul pertanyaan: di mana aktivitas tiap sektor akan dijalankan (hirarki 3), selanjutnya hirarki proses perencanaan ditutup dengan pertanyaan standar menyangkut (hirarki 4): kebijakan apa, strategi apa, dan langkah-langkah apa yang perlu diambil (Aziz, 1993).



Hirarki Pembangunan Daerah

Hirarki 1
 
Hirarki 2
 
Hirarki 3
 
Kebijakan Siasat dan Langkah-langkah
 
Hirarki 4
 
 












Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa berbeda dengan pendekatan sektoral, sesuai dengan namanya, pendekatan regional lebih menitikberatkan pertanyaan: daerah mana yang perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk dikembangkan di masing-masing daerah. Jadi hirarki 2 dan hirarki 3 di bagian 1 bertukar tempat. Di dalam kenyataan, pendekatan regional sering diambil tidak dalam kerangka totalitas, melainkan hanya untuk beberapa daerah tertentu; misalnya daerah terbelakang, daerah perbatasan, atau daerah yang diharapkan mempunyai posisi strategis dalam arti ekonomis-politis. Untuk Negara Indonesia, yang diperlukan adalah gabungan (kombinasi) antara dua pendekatan tersebut; bukan ”sektoral” atau ”regional,” tetapi keduanya perlu berjalan bersama. Hal ini sangat penting, tidak hanya dari segi konsep, tetapi juga dari segi pelaksanaan khususnya yang menyangkut koordinasi pembangunan di daerah dalam kerangka sistem pemerintahan yang ada. Arah tersebutlah yang perlu dituju. Selama ini tampaknya selalu ada kecenderungan berat sebelah. Pendekatan sektoral kerap kali (kalau tidak, selalu) mendominasi proses perencanaan. ltulah sebabnya kita temui suatu keadaan dimana otoritas dan pengawasan departemen untuk tiap sektor, misalnya Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Departemen Pertambangan, lebih efektif daripada Pemerintah dan instansi daerah, meskipun di atas kertas keterlihatannya adalah sebaliknya. Karena arah yang dituju adalah gabungan antara pendekatan ”sektoral” dan ”regional” maka dalam melakukan pengamatan tentang pembangunan daerah di Indonesia perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.


Kebijakan dalam Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah


Percepatan pembangunan ekonomi daerah dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas), diwujudkan dalam program-program pokoknya antara lain adalah pengembangan kawasan-kawasan potensial dari seluruhsistem produksi, pengolahan sampai kepada pemasaran dalam kesatuan sistem yang terpadu, pengembangan kerjasama dan kemitraan antara seluruh pelaku melalui pengembangan jaringan dan forum bersama dengan memanfaatkan seluruh potensi daerah dan nasional, pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang diperlukan dan pengembangan SDM, teknologi, dan jaringan informasi yang terpadu. Seluruh instansi dan institusi yang diharapkan saling bekerja sama dalam memacu pembangunan daerah adalah sektor-sektor dalam pemerintah daerah, para asosiasi dan pengusaha swasta, pemerintah daerah, LSM, serta masyarakat pelaku langsung. Dengan adanya keterlibatan berbagai pelaku pembangunan untuk pengembangan ekonomi daerah, maka kerjasama antara seluruh pihak mutlak dilaksanakan.

Kewenangan daerah baru diterjemahkan menjadi keleluasaan menetapkan beberapa peraturan daerah (perda) yang amat tidak kondusif bagi pengemabngan ekonomi lokal. Fokus dari langkah dan kebijakan daerah masih seputar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), yang justru dapat berdampak inflatoir, jika tidak dikatakan justru menciptakan ketidakpastian baru di daerah yang sangat kontraproduktif bagi aktivitas investasi dan ekonomi lain di daerah.
Berdasarkan berbagai pengalaman baik di dalam negeri maupun internasional, serta berkembangnya kebijaksanaan pembangunan daerah seperti terbitnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta beberapa peraturan pemerintahnya, beberapa pemikiran yang dapat dikembangkan untuk strategi pengembangan regional di masa mendatang antara lain adalah:

a.       Alokasi sumber daya yang lebih berkeseimbangan

UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membuka kewenangan yang semakin besar bagi pemerintah daerah dalam merencanakan dan menggunakan sumber-sumber keuangannya. Untuk itu, perlu pula dilakukan reformasi fiskal yang mendukung alokasi sumber daya yang lebih baik terutama ke kawasan-kawasan yang belum berkembang, termasuk diantaranya reformasi di bidang perpajakan. Deregulasi sektor riil juga perlu memperhatikan perkembangan kemampuan daerah.

b.      Peningkatan sumberdaya manusia di daerah

Kualitas manusia di kawasan-kawasan tertinggal umumnya masih di bawah rata-rata kualitas nasional. Untuk itu pendekatan pembangunan sektoral yang telah meningkatkan standard kualitas manusia Indonesia sampai pada taraf tertentu, pada masa mendatang perlu diikuti oleh pendekatan pembangunan yang lebih memperhatikan kondisi dan aspirasi wilayah, bukan oleh pendekatan yang bersifat uniform. Strategi pembangunan di masa mendatang harus mampu mengidentifikasi jenis pendidikan dan pelatihan yang dapat menempatkan tenaga kerja dan lulusan terdidik dalam pasar peluang kerja yang senantiasa menuntut adanya peningkatan keahlian.

c.       Pengembangan kelembagaan dan aparat daerah

Struktur kelembagaan dan aparat pemerintah daerah selama ini mencerminkan sistem pemerintahan berjenjang. Walaupun propinsi dan Kabupaten juga berfungsi sebagai daerah otonom, yang mempunyai kewenangan dalam daerahnya sendiri, namun dalam berbagai implementasi pelaksanaan pembangunan selama ini daerah lebih menunggu petunjuk dari Pusat. Proses pengambilan keputusan yang demikian kemudian berkembang menjadikan aparat daerah lebihmelayani aparat Pusat daripada melayani masyarakat daerahnya.

Dalam era demokratisasi yang semakin berkembang seperti sekarang ini, yang ditunjang oleh berbagai peraturan dan perundang-undangan mengenai penataan ruang di setiap propinsi dan kabupaten/kota dapat menjadi acuan aparat daerah dalam mengelola berbagai unsur ruang (seperti sumber daya alam, manusia dan buatan) secara optimal, serta mengembangkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

d.      Pelayanan masyarakat yang efisien

Untuk kepentingan stabilitas ekonomi dan politik selama ini pemerintah memegang kendali yang lebih besar terhadap sumber-sumber penerimaan dan berbagai kebijaksanaan pelayanan masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan dasar masih sangat kurang, resiko investasi masih sangat besar, dan tingkat pendidikan rata-rata manusia di daerah masih rendah.

Dengan semakin meningkatnya kemampuan kelembagaan dan kualitas aparat di daerah, sudah masanya sekarang untuk memperbesar kewenangan daerah dalam menata pemabangunan di daerah. Keterlibatan pihak swasta sebagai mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pembangunan perlu diperbesar, sejalan ddengan kewenangan daerah yang semakin besar dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya. Hal ini ditujukan agar pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.


Kerangka Perencanaan dan Strategi


Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah dalam rangka pengelolaan potensi dan pembangunan daerah, jelas memerlukan strategi khusus yang bersifat komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan makro dan mikro yang mampu menjembatani persoalan-persoalan tersebut, melalui mekanisme kemitraan (partnership), yang melibatkan unsur-unsur masyarakat, pihak swasta (private sector), dan pemerintah (government) atau disebut dengan “kemitraan tripartit” (UNDP, UN-Habitat, Bappenas, 2002) sebagai paradigma baru dalam pembangunan (Paoletto dalam Wang, 2000). Upaya penanggulangan permasalahan tersebut berintikan suatu paradigma baru, dimana inisiatif pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal (daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan rencana aksi yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan kapasitasnya. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah bersama seluruh stakeholdernya, harus mampu mengelola dan mempromosikan kekuatan atau potensi lokalnya agar mampu menarik minat pihak luar untuk berinvestasi dalam memacu roda pembangunan daerah. Sebagai suatu paradigma baru dalam pengelolaan potensi dan pembangunan daerah, beberapa hal kritis perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut: (1) Reposisi Peran Semua Stakeholders sesuai dengan tugas dan kewenengan masing-masing; (2) Koalisi Antar Pelaku Pembangunan; (3) Peningkatan Daya Saing; (4) Mendorong Minat Investasi; (5) Pendayagunaan Modal Sosial yang dimiliki Masyarakat Daerah.


Peran Bappenas dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Sebagai suatu organisasi, setiap negara pada dasarnya memerlukan rencana yang memuat tujuan dan sasaran nasional yang akan dicapai dalam suatu kurun waktu tertentu di masa yang akan datang serta strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.[1] Pemerintah Republik Indonesia menyadari bahwa alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif, serta koordinasi perencanaan Pembangunan Nasional adalah tugas, fungsi dan wewenangnya. Pada saat ini, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2002, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kantor Meneg PPN/Bappenas) mempunyai tugas membantu Presiden di bidang perencanaan pembangunan nasional.[2]
           
Selanjutnya, Keputusan Meneg PPN/Kepala Bappenas Nomor: 050/M.PPN/03/2002 tanggal 26 Maret 2002 dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “Kantor Meneg PPNN/Bappenas menyelenggarakan fungsi antara lain pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan nasional, serta pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional.” Sedangkan Pasal 4 ayat d (ii) menyebutkan bahwa “Kantor Meneg PPN/Bappenas mempunyai kewenangan dalam merumuskan kebijakan perencanaan nasional secara makro dan memadukan perencanaan lintas sektoral dan lintas wilayah.” Sejak dibentuknya pada tahun 1973, Bappenas telah melakukan peran strategis baik dalam penyusunan makro, sektoral dan regional.[3] 
Dinamika perubahan yang terjadi baik di jenjang nasional maupun global saat ini dan di masa datang menuntut terjadinya perubahan orientasi dan pendekatan yang digunakan dalam perencanaan dan koordinasi pembangunan. Perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional yang perlu diperhatikan antara lain:

(i)   Demokratisasi. Proses perencanaan pembangunan dituntut untuk disusun secara terbuka dan melibatkan semakin banyak unsur masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan yang dihasilkan merupakan komitmen kuat dari seluruh masyarakat mengenai tatanan masyarakat yang hendak dibangun dan bagaimana cara mencapainya.[4]
 (ii)  Otonomi Daerah. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu sinkron dan sinergis antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten serta menghindari kemungkinan timbulnya kesenjangan yang makin melebar akibat perbedaan sumberdaya pembangunan yang dimiliki masing-masing daerah.
(iii)  Globalisasi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk mampu mengantisipasi kepentingan nasional dalam kancah persaingan global.  Diperlukan kebijakan yang mampu mewujudkan koordinasi dan integrasi upaya-upaya Pemerintah RI dengan pemerintah negara lain atau organisasi-organisasi internasional.[5]
(iv)  Perkembangan Teknologi.            Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat yang dapat merubah perekonomian dunia dalam waktu singkat.[6]
           
Selanjutnya, permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini adalah: (i) merebaknya konflik sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa; (ii) lemahnya penegakan hukum dan hak azazi manusia; (iii) lambatnya pemulihan ekonomi; (iv) rendahnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya penyakit sosial, dan lemahnya ketahanan budaya nasional; dan (v) kurang berkembangnya kapasitas pembangunan daerah dan masyarakat.[7]

Kompleksitas dan beratnya tantangan pembangunan nasional tersebut di atas memerlukan suatu perencanaan yang berparadigma dan bervisi baru agar bangsa kita terhindar dari langkah-langkah yang menjerumuskan.  Kemampuan menganalisa dan merumuskan agenda-agenda utama perencanaan nasional masa depan sangat menentukan keberhasilan suatu produk perencanaan untuk tidak saja mampu mengarahkan dinamika pembangunan nasional secara tepat namun juga dituntut untuk dapat memaksimalkan sinergi antar sektor, antarwilayah, antarwaktu serta antargolongan pendapatan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya penyegaran pendekatan dan strategi Bappenas dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai lembaga layanan publik dalam hal perencanaan sektoral dan wilayah.
           
Menghadapi dinamika perubahan serta kompleksitas permasalahan pembangunan nasional tersebut di atas, maka sistem perencanaan pembangunan nasional dituntut untuk mampu:

(i)   mengalokasikan sumberdaya pembangunan kedalam kegiatan-kegiatan melalui kelembagaan-kelembagaan dalam konteks untuk mencapai masa depan yang diinginkan;[8]
(ii)   fleksible dengan horizon perencanaan yang ditetapkan, sehingga tidak terlalu kaku dengan penerapan konsep pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang;[9]
(iii)  memperluas dan mendiseminasikan kemampuan perencanaan ke seluruh lapisan masyarakat.[10]
           
Dalam konteks Bappenas, untuk mampu merencanakan pembangunan nasional sesuai tujuan berbangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dalam dinamika perubahan domestik dan internasional yang begitu cepat, maka visi yang diperlukan adalah:

“Terwujudnya BAPPENAS yang mampu menyusun perencanaan yang komprehensif, terpadu, dan fleksibel secara partisipatif, rasional, obyektif dan nonpartisan dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara sesuai UUD 1945.”[11]

            Untuk mewujudkan visi tersebut, maka secara ringkas misi yang dapat dijalankan oleh Bappenas adalah:

(i)   Menyusun sistem dan mekanisme proses perencanaan pembangunan nasional yang partisipatif, rasional, obyektif dan nonpartisan. 
(ii)   Menyusun perencanaan yang komprehensif, terpadu dan fleksibel.
(iii)  Melaksanakan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan pembangunan nasional serta pelaksanaannya.
(iv)  Melakukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pembangunan nasional.                    
           
Peran Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah Kedepan Dalam Mendukung Tugas dan Fungsi Bappenas

            Peran Direktorat KPSD dalam mendukung fungsi dan tugas pokok Bappenas tentu tidak terlepas dari visi dan misi Bappenas. Berdasarkan Pasal 249 Keputusan Meneg PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP. 050/M.PPN/03/2002 tanggal 26 Maret 2003, tugas pokok Direktorat KPSD adalah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.

            Dalam melaksanakan tugas, sebagaimana dimaksud pasal 249 di atas, Direktorat KPSD menjalankan fungsi:

(i)   Penyiapan perumusan kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
(ii)   Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
(iii)  Pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
(iv)  Koordinasi penyusunan rencana pendanaan pembangunan di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
(v)  Pengkajian kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
(vi)  Evaluasi, pemantauan dan penilaian pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
           
Permasalahan-permasalahan perencanaan pembangunan nasional yang terkait dengan tugas dan fungsi Direktorat KPSD antara lain adalah[12]:

(i)   Masih kuatnya orientasi pembangunan sektoral.
(ii)   Terjadinya kesenjangan yang semakin lebar antar daerah (Jawa – luar Jawa, Kawasan Barat Indonesia – Kawasan Timur Indonesia, serta antar kota – desa).
(iii)  Adanya kebijakan mikro yang ditetapkan masing-masing daerah yang cenderung menghambat peluang kerjasama dan koordinasi antara daerah, sehingga berdampak pada munculnya ekonomi biaya tinggi, semangat kedaerahan, menurunnya tingkat kedaerahan, degradasi kualitas lingkungan, serta semakin tingginya kesenjangan.           

            Didasarkan pada kondisi dan permasalahan yang dihadapi BAPPENAS pada umumnya serta Direktorat KPSD khususnya, maka visi untuk Direktorat KPSD adalah:

            “Terwujudnya Direktorat KPSD yang mampu mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi kerjasama pembangunan sektoral dan daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah secara optimal”[13]

            Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang dapat dijalankan oleh Direktorat KPSD adalah:

(i)   Mengoptimalkan komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi upaya kerjasama pembangunan sektoral dan daerah antar Direktorat di BAPPENAS serta antar lembaga teknis pelaksana pembangunan dalam menyusun perencanaan pembangunan.
(ii)   Mengoptimalkan partisipasi semua pihak (lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, gerakan akar rumput, asosiasi profesional, dan lain-lain) yang berminat dalam proses perencanaan pembangunan nasional yang partisipatif.
(iii)  Melakukan sinkronisasi dan koordinasi prioritas-prioritas kegiatan sektor sesuai aspirasi dan kebutuhan daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah viz a viz menginformasikan aspirasi dan kebutuhan daerah untuk menjadi prioritas kegiatan sektor.
(iv)  Mengidentifikasi isu-isu strategis dan dinamika perubahan berkaitan dengan kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.

            Tujuan dari dari kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Direktorat KPSD sesuai visi dan misi yang ditetapkan adalah:

(i)   Mengembangkan sistem deteksi dini (early warning system) untuk isu-isu strategis dalam kerjasama pembangunan sektor dan daerah.
(ii)   Mengembangkan sistem dan mekanisme kerjasama pembangunan sektor dan daerah, baik intern BAPPENAS, antar sektor di Pusat, antar pusat dan daerah, antar Pemerintah dan masyarakat (swasta).
(iii)  Mengembangkan sistem dan prosedur untuk menjamin partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam proses perencanaan pembangunan.
(iv)  Memberi masukan tentang prioritas-prioritas kegiatan sektoral yang dibutuhkan daerah serta prioritas-prioritas pembangunan daerah kepada sektor dalam konteks kerjasama pembangunan sektor dan daerah.

      Sasaran-sasaran yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan di Direktorat KPSD adalah:

(i)   Terumuskannya isu-isu strategis berikut analisa dinamika perubahannya yang memerlukan penyelesaian mendesak.
(ii)   Terwujudnya komunikasi dan koordinasi yang baik antar Direktorat/Pusat/Biro di Bappenas, antar lembaga, serta antar sektoral dan daerah dalam kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.
(iii)  Terwujudnya sistem dan model partisipasi aktif semua pihak dalam proses perencanaan pembangunan.
(iv)  Tercapainya keserasian pelaksanaan pembangunan yang berdampak pada sinergi dan kesinambungan pembangunan sektoral dan daerah.
           
Dalam rangka mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran Direktorat KPSD, maka perlu disusun rencana tindak (action plan) yang lebih operasional dan merujuk pada skala prioritas (Penjabaran secara rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran).  Secara garis besar kebijakan dalam rencana tindak Direktorat KPSD adalah sebagai berikut:

(i)   Identifikasi isu-isu strategis berikut dinamika perubahannya melalui analisa data kuantitatif (sosio-ekonomi, spatial, statistik, dll) serta kualitatif (hasil-hasil penelitian dan kajian).
(ii)   Analisa potensi dan masalah lingkup regional (propinsi dan kabupaten)
(iii)  Analisa dan penyusunan dokumen “Wilayah Pengembangan Sektor”
(iv)  Komunikasi, sinkronisasi dan koordinasi kerjasama pembangunan sektor dan daerah.
(v)  Pengembangan profesionalisme dan infrastruktur kelembagaan.


Good  Governance dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
           
Pengelolaan yang baik (good governance) yang antara lain mencakup prinsip-prinsip partisipasi, taat azas (hukum), transparansi, kesamaan, kepekaan, visi, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme telah menjadi tuntutan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini. Dalam konteks perencanaan pembangunan pada umumnya dan Bappenas khususnya, good governance memerlukan tiga faktor yang harus ditangani dengan baik yaitu: dukungan politik, kualitas administrasi kelembagaan dan kapasitas menyusun, menerapkan serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diterapkan di berbagai bidang.

            Sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, peran dan fungsi Bappenas sangat rentan terhadap perubahan konfigurasi politik dalam negeri. Pasang-surut peran dan fungsi lembaga perencanaan diyakini sebagai akibat tidak adanya “political will” berupa landasan hukum yang kuat bagi lembaga perencanaan nasional. Idealnya, ada Undang-undang Sistem Perencanaan Nasional sebagai dasar pelaksanaan proses perencanaan pembangunan nasional.  Kalaupun keberadaan UU tidak memungkinkan, Peraturan Pemerintah yang mengatur sistem dan proses perencanaan juga cukup memadai. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan Presiden terpilih tentang perlunya kelembagaan perencanaan.

            Kualitas kelembagaan juga sangat menentukan keberhasilan good governance. Komposisi SDM Bappenas menyangkut jenjang pendidikan dan diversifikasi keahlian yang dimiliki, merupakan modal yang cukup untuk terlaksananya good governance. Hal yang perlu dilakukan adalah membentuk ”corporate culture” menuju Bappenas yang transparan, peka, visioner, akuntabel, efisien dan efektif. Dengan bekal kualitas administrasi yang kuat maka akan dapat dihasilkan proses perencanaan yang partisipatif, rasional dan obyektif serta produk perencanaan yang komprehensif, terpadu dan fleksibel dengan perkembangan jaman.

            Dalam implementasinya, produk perencanaan berkualitas yang dihasilkan melalui proses yang partisipatif ini ditambah dengan dukungan politik yang kuat dari Presiden serta landasan hukum yang pasti, akan menjadi acuan yang dihormati dan ditaati oleh semua pihak yang terkait dengan pembangunan nasional di Indonesia.


Penutup
           
Proses untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran melalui berbagai rencana tindak yang diterapkan sangat dipengaruhi oleh kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang yang dimiliki dan dihadapi Bappenas pada umumnya serta Direktorat KPSD pada khususnya. 

            Kekuatan yang dimiliki Bappenas adalah pada kualitas dan diversifikasi keahlian SDM yang dimiliki, etos kerja serta karakteristik proses perencanaan yang partisipatif, rasional, obyektif dan nonpartisan, serta adanya semangat dan komitmen yang tinggi dari para staf untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kelemahan Bappenas serta Direktorat KPSD sebagai unit organisasi Bappenas adalah relatif masih lemahnya komunikasi dan koordinasi antar Direktorat dan antar staf di Bappenas, serta belum adanya sistem dan mekanisme yang memaksa Direktorat untuk saling bersinergi.

            Peluang-peluang yang ada untuk tetap eksisnya kelembagaan perencanaan (Bappenas) serta kebutuhan akan proses dan produk perencanaan antara lain: tiadanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mulai tahun 2004 mendatang; kemungkinan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat yang tentunya membutuhkan kerangka acuan yang obyektif dan rasional untuk menyusun program-program kerjanya; berbagai dukungan dari kalangan legislatif dan aparat perencana di Pusat dan Daerah untuk keberadaan Bappenas.  Sedangkan ancaman yang dihadapi antara lain adalah: berlakunya UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yang bila berlaku sepenuhnya akan mengurangi bahkan meniadakan peran Bappenas; serta status Bappenas yang sangat tergantung pada kepentingan atau selera elit politik nasional.

            Berbekal semangat kebersamaan dan profesionalisme yang dimiliki staf Bappenas serta dukungan politik dan moral yang kuat dari unsur Pimpinan Bappenas, Insya Allah berbagai kelemahan dan ancaman dapat kita atasi serta berbagai kekuatan dan peluang dapat kita manfaatkan demi terwujudnya proses dan produk perencanaan terbaik yang kita inginkan.  Semua upaya ini pada hakikatnya adalah ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat¡ 


Daftar Pustaka

Ackoff, Russell.  1977.  National development planning revisited.  Operation Research. Vol. 23, No. 2 (March – April, 1977).
Aggarwala, Ramgopal.  1983.  Planning in developing countries: Lessons from experience.  World Bank Staff Working Paper No. 576.   Washington D,C.: The World Bank.
Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah.  2003.  Rencana Strategis.
Republik Indonesia.  2000.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 – 2004.
Sagasti, Fransisco. 1987.  National development planning in turbulent times.  Social Systems Science Department, The Wharton School, University of Pennsylvania, Philadelphia.
Sagasti, Fransisco.  1990.  An institutional approach to national development planning.  Technological Forecasting and Social Change, Vol. 37:321-334.  Elsevier Science Publishing Co., Inc.
Aziz, Iwan Jaya, 1993. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004.
The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging Partnership”, Report.
UNDP, UN-Habitat & Bappenas. KPEL’s 13 Steps to Local Economic Development. July 2002.
Blakely, Edward. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second Edition. Sage Publications, Inc. 1994.


0 komentar:

Posting Komentar