Jumat, 18 Mei 2012

KONSEP DAN ISU DESENTRALISASI DALAM MANAJEMEN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

DECENTRALIZATION CONCEPT AND ISSUE IN GOVERNMENT MANAGEMENT IN INDONESIA

Priyanto Susiloadi
Alamat: Jurusan Administrasi Negara FISIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta (0271) 637358
(Diterima tanggal 17 Mei 2007, disetujui tanggal 6 September 2007)

Abstract

Local autonomy issue could not be separated from the decentralization issue because the source of autonomy obligation to the local government stems from the decentralization policy. Actually, autonomy obligation to a certain district is the manifestation of decentralization system of the government of a state. Decentralization concept itself in the public administration discipline is an approach and management technique that is concerned to the phenomena of delegation authority and responsibility of the higher level of government to the lower level. Decentralization policy is concerned to power relationship changing in the different level of government.
                There are different view among experts concerning to the scope of decentralization concept. Some experts such as Bird and Vaillancort (2000), Siedentopf (1987), Davey (1983), Ichlasul Amal and Nasikun (1989), and Mills (1991) employed the term of decentralization in a board sense. According to them, the term of decentralization covers either administrative decentralization or political decentralization. There is difference notion of local decentralization between experts and the formulation and what is defined in Act that regulate the district government which ever held  and the Act that hold now days, view decentralization only covers devolution or political decentralization, while administrative decentralization (deconcentration) are in the different position and do not mean decentralization.
                Effectiveness of decentralization model for regulating and overcoming the problems at the empirical level is heavily depended upon the accuracy of its application. In the united state government is not possible to find full autonomy at the local level and full decentralization as well through the center government regulation. The aim of local autonomy is to increase community welfare.

Key words: Authority, Authonomy, Decentralization, Responsibility


A.                Pendahuluan

Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal.  Negara dan wilayah pendiri federasi itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal. Dalam negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya  bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Diasumsikan bahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah otonom (Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, 1999).
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan (einheidsstaat). Hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu conditio sine qua non dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti Negara Republik Indonesia.  Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom untuk dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat secara bertanggungjawab menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah yang telah berkembang menjadi wacana publik di berbagai lapisan masyarakat umum akhir-akhir ini mengalami “bias” baik dalam tataran teoritik maupun tataran praktik. Salah satu bias yang paling mencolok adalah adanya pengertian bahwa otonomi daerah semata-mata adalah persoalan mewujudkan kemandirian daerah (kabupaten dan kota) baik dalam mengelola uang (money) maupun urusan (business)-nya sendiri. Dengan kecenderungan tersebut maka fokus perhatian kabupaten dan kota hanya kepada seberapa besar dana, sumber dana, dan urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada kabupaten dan kota.
Dengan memperhatikan fenomena diatas maka dalam konteks kepentingan kabupaten dan kota pengertian otonomi daerah perlu diletakkan dalam kerangka dan substansi yang proporsional, yaitu bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada gilirannya harus mampu memberikan pelayanan publik yang optimal kepada seluruh masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Isu tentang otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari isu desentralisasi karena pemberian otonomi kepada daerah bersumber dari kebijakan desentralisasi. Tulisan ini bermaksud membahas konsep dan isu desentralisasi serta manifestasinya dalam pengelolaan pemerintahan di Indonesia.

B.     Desentralisasi: Konsep dan Aplikasinya Dalam Penyelenggaraan Manajemen Pemerintahan di Indonesia

Dalam negara yang berbentuk kesatuan tidak mungkin ada daerah yang bersifat “staat”. Konsekuensinya adalah timbul hubungan hukum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya di negara berkembang, sangat tergantung pada sistem yang digunakan dalam pengaturan hubungan tersebut. Secara teoritis, ada dua model sistem yang dapat digunakan, yakni model sistem sentralisasi dan model sistem desentralisasi. Kedua sistem tersebut hanyalah terbatas sebagai model, sebab secara empirik di seluruh dunia dewasa ini tidak ada satu negara yang secara ekstrim pemerintahannya bersifat sentralisasi, sebaliknya juga tidak ada yang sepenuhnya bersifat desentralisasi (Muchsan, 1999).
Dalam sistem sentralisasi semua kewenangan ada pada pemerintah pusat, yang berarti semua daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi terjadi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Daerah yang mendapat  kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri disebut daerah otonom.
Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Konsep desentralisasi itu sendiri didalam ilmu administrasi publik merupakan sebuah pendekatan dan teknik manajemen yang berkenaan dengan fenomena tentang pendelegasian wewenang dan tanggung jawab (delegation of authority and responsibility) dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkut perubahan hubungan kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Namun terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli tentang pengertian yang tercakup dalam konsep desentralisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Siedentopf (1987), desentralisasi adalah suatu istilah yang memiliki pengertian atau konotasi yang berbeda bagi masyarakat yang berbeda atau bagi masyarakat yang sama dalam situasi atau konteks yang berbeda. Menurut Bird dan Vaillancort (2000), ada tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah. Beberapa ahli lainnya seperti Siedentopf (1987), Davey (1983), Ichlasul Amal dan Nasikun (1989), dan Mills (1991) juga menggunakan istilah desentraliasi untuk pengertian yang luas.  Menurut mereka istilah desentralisasi mencakup baik desentralisasi  administratif maupun desentralisasi politik.
Desentralisasi administratif atau sering disebut dekonsentrasi adalah pendelegasian sebagian kekuasaan administratif kepada pejabat-pejabat birokrasi atau aparat pemerintah pusat yang ditempatkan di lapangan (wilayah). Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik untuk membuat keputusan atau kebijakan publik. Yang mereka miliki hanya kewenangan administratif untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Pejabat-pejabat di lapangan (field administrator) hanya bekerja atas dasar rencana dan anggaran yang sudah ditentukan oleh pusat. Dalam dekonsentrasi berarti redistribusi tanggung jawab administratif hanya diantara badan-badan perwakilan atau agen-agen pemerintah pusat. Karena dekonsentrasi hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politik, maka dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang lemah.
Desentralisasi politik atau devolusi berarti pendelegasian sebagian wewenang dan tanggung jawab membuat keputusan dan pengendalian atas sumber-sumber daya kepada instansi pemerintah regional yang memiliki lembaga perwakilan dan memiliki kekuasaan pemerintahan. Devolusi mempunyai karakteristik dasar tertentu sebagai berikut :             (1). Pemerintah setempat (lokal) bersifat otonom dan secara jelas merasa sebagai tingkatan yang terpisah dimana penggunaan kewenangan pusat kurang atau tidak langsung, (2). Pemerintah setempat memiliki batas yang jelas dan diakui secara sah dimana mereka memiliki kekuasaan dan menyelenggaran fungsi-fungsi publik, (3). Pemerintah setempat berkedudukan sebagai badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk menjamin sumber daya untuk menyelenggarakan fungsinya, (4). Devolusi mengandung pengertian bahwa pemerintah setempat adalah institusi yang menyediakan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah setempat, (5). Didalam devolusi terdapat hubungan timbal balik, saling menguntungkan dan koordinatif antara pemerintah pusat dan pemerintah setempat (Siedentopf, 1987).
Dengan demikian menurut pandangan ini desentralisasi mencakup pemerintahan wilayah administratif dan pemerintahan daerah otonom. Dalam pemerintahan wilayah administratif ditandai dengan  adanya aparat  dan pejabat-pejabat birokrasi pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah sebagai field administrator. Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik. Yang mereka miliki hanyalah kewenangan administratif guna melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Dalam pemerintahan daerah otonom ciri utamanya adalah memiliki lembaga perwakilan yang pada umumnya didasarkan atas pemilihan dan memiliki kekuasaan pemerintahan tingkat daerah (lembaga eksekutif). Lembaga-lembaga tersebut memiliki  kewenangan politik untuk membuat kebijakan publik.
Seberapa jauh desentralisasi dapat dinilai dengan jelas, sebagian tergantung pada apakah yang sudah dilakukan lebih bersifat dekonsentrasi, delegasi, atau devolusi. Hal ini juga tergantung apakah seseorang mengamatinya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom up) (Bird dalam Bird dan Vaillancort, 2000). Pendekatan desentralisasi dari bawah ke atas (bottom up) umumnya menekankan nilai politis, misalnya perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran dan partisipasi politik lokal, dan efisiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan. Literatur ilmu politik  sarat dengan alinea-alinea yang mengangkat manfaat dan kebaikan-kebaikan desentralisasi. Desentralisasi tidak hanya menghasilkan pengadaan pelayanan yang efisien dan adil melalui pemanfaatan pengetahuan lokal, tetapi juga akan merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Hasilnya, dukungan yang lebih luas kepada pemerintah dan memperbaiki stabilitas politik. Bila kebaikan-kebaikan dan manfaat ini ditambah dengan sisi manfaat yang lain, seperti peningkatan mobilisasi sumber-sumber dan pengenduran tekanan atas keuangan pusat, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan ketanggapan serta tanggung jawab pemerintah secara umum, tidak mengherankan banyak orang menganggap desentralisasi merupakan sesuatu yang demikian berharga. Lain halnya bila desentralisasi dilihat prosesnya dari atas ke bawah (top down). Dari atas ke bawah, dasar pemikiran desentralisasi misalnya meringankan beban pusat dengan mengalihkan defisit (atau paling tidak sebagian dari tekanan politis atas defisit) ke bawah, meningkatkan efisiensi manajemen pembangunan, dan  meningkatkan kesejahteraan nasional. Apapun dasar pemikirannya, pendekatan top down menekankan bahwa kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah seberapa baik desentralisasi dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional (Bird dan Vaillancort, 2000).
Mills (1991) mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai tujuan filosofis dan ideologis dan tujuan pragmatis. Secara filosofis  dan ideologis, desentralisasi dianggap sebagai tujuan politik yang penting, karena memberikan kesempatan munculnya partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah, dan untuk menjamin kecermatan pejabat-pejabat pemerintah terhadap masyarakatnya. Dalam tingkat pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai hambatan institusional, fisik dan administratif  dalam pembangunan.  Sebagai contoh, meningkatnya kontrol daerah dapat menghasilkan respon yang lebih baik akan kebutuhan masyarakat, meningkatkan pengelolaan sumber daya dan logistik, dan meningkatkan motivasi pejabat-pejabat lokal.  Dengan demikian desentralisasi dapat mendukung dan memacu pelaksanaan pembangunan. Desentralisasi juga dilihat sebagai suatu cara untuk mengalihkan beberapa tanggung jawab pembangunan dari pusat ke  daerah. Dalam suatu negara yang mempunyai keanekaragaman daerah, terkadang timbul pertentangan antar berbagai kelompok penduduk, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk memberi otonomi yang lebih besar tanpa meninggalkan kesatuan nasional.
Berbeda dengan pandangan para ahli dimuka, pengertian yang dirumuskan dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang pernah berlaku (UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999) dan yang sekarang berlaku di Indonesia (UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2005) memandang desentralisasi hanya mencakup devolusi atau desentralisasi politik saja. Sedangkan desentralisasi administratif (dekonsentrasi) berada dalam posisi yang berbeda dan tidak bermakna desentralisasi. Dekonsentrasi tidak lain merupakan sharing kekuasaan diantara para pejabat atau aparat pemerintah pusat yang hanya berbeda dalam tempat tugas saja. Pihak yang mendelegasikan kekuasaannya bertugas di pusat pemerintahan sedangkan yang menerima kekuasaan yang didelegasikan tersebut bertugas di daerah.
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengacu kepada pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang akan merupakan tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat akan diatur, diurus dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom. Dengan demikian, otonomi daerah adalah bersumber dari desentralisasi tetapi desentralisasi tidaklah selalu mengacu pada otonomi. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi adalah ”the legal self sufficiency of social body and its actual independence”. Jadi ada dua ciri hakekat otonomi yaitu “legal self sufficiency” dan “actual independence”. Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, menurut Encyclopedia Britanica, otonomi adalah “self government the condition of living under one’s own laws”. Dengan demikian otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi (Baharuddin Tjenreng, 1990). Pemberian otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memeperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun mengenai tolok ukur otonomi suatu daerah terdapat perbedaan interpretasi dari satu sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan lainnya, walaupun upaya mencari faktor-faktor yang dijadikan tolok ukur tingkat otonomi suatu daerah telah lama dilakukan.
  
C.        Penutup

Dari perspektif administrasi publik sentralisasi dan/ atau desentralisasi adalah merupakan teknik manajemen. Efektivitasnya untuk mengatur dan mengatasi permasalahan pada tataran empirik sangat tergantung pada ketepatan penerapannya. Penerapan model desentralisasi dalam pengaturan pemerintahan di Indonesia menjadi sumber adanya otonomi daerah. Salah satu filosofi dari otonomi daerah adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam negara kesatuan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan satu kesatuan, walaupun memiliki tugas yang berbeda. Disamping itu dalam sistem pemerintahan negara kesatuan tidak akan mungkin terdapat baik otonomi penuh pada tingkat daerah maupun sentralisasi penuh  melalui pengaturan pemerintah pusat. Otonomi daerah semestinya dapat membuat masyarakat meningkat kesejahteraannya. Hal itu tidak berlebihan karena dengan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dapat lebih sensitif terhadap persoalan yang ada di daerahnya. Namun demikian profesionalitas para penyelenggara pemerintahan merupakan salah satu variabel yang tidak bisa dinihilkan pengaruhnya terhadap efektivitas otonomi daerah. Apabila otonomi daerah dijadikan lahan basah bagi elit daerah untuk kepentingan diri dan kelompoknya maka cita-cita menyejahterakan masyarakat melalui otonomi daerah akan bertepuk sebelah tangan dan bagaikan api yang jauh dari panggang.



Daftar Pustaka


Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid. 1999. “Otonomi dan Federalisme” dalam St. Sularto dan T Jakob Koekerits (penyunting). Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta : Kompas.
Baharuddin Tjenreng, 1990. “Masalah Hak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangga Sendiri Dalam Otonomi Daerah Bertingkat” dalam  Kumpulan Makalah Seminar Terbatas Tentang Otonomi Daerah. Jakarta : Balitbang Depdagri.
Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois. 2000. “Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang : Tinjuan Umum” dalam  Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois (penyunting). Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Terjemahan PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Davey, Kenneth J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Terjemahan Aminullah dkk. Jakarta : UI Press.
Herman Haeruman. 1999. Strategi Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Berbagai Perspektif. Makalah Seminar Nasional “ Otonomi Daerah Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis”, 7 Desember 1999, Yogyakarta : FE UPN Veteran.
Ichlasul Amal dan Nasikun. 1990. “Desentralisasi dan Prospeknya : Pelajaran dari PPW” dalam Pengalaman PPW dan Strategi Pembangunan Pedesaan di Indonesia. Yogyakarta : P3PK UGM.
Mills, Anne. 1991.  “Isu dan Konsep Desentralisasi”, dalam Anne Mills dkk. (editor). Desentralisasi Sistem Pelayananan Kesehatan, terjemahan Laksono Trisnantoro. Yogyakarta : Gadjah Mada Press.
Muchsan. 1999. Kajian Yuridis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Yang Seluas-luasnya. Makalah Seminar Nasional “ Otonomi Daerah Dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis”, 7 Desember 1999, Yogyakarta : FE UPN Veteran.
Siedentopf, Heinrich. 1987. “Decentralization for Rural Development : Government Approaches and People’s Initiatives in Asia and the Pacific”. Building from Below Local Initiatives for Decentralized Development in Asia and Pacific. Vol. 1. Kuala Lumpur : Asian and Pacific Development Centre.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi undang-Undang.





0 komentar:

Posting Komentar