Bogor Jawa Barat

Institute Pertanian Bogor.

Universitas Negeri Yogyakarta

Fakultas Tekhnik.

SMECDA

Kementrian Koperasi dan UKM Jakarta.

BPU UPI

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Senin, 15 Oktober 2012

Kemenangan Jokowi


Oleh : Sigit Kurniawan /Marketer

Sejak muncul di publik, Jokowi memang fenomenal. Paling kentara, kesan fenomenal ini muncul ketika ia dinyatakan oleh perhitungan cepat hasil Pilkada DKI 20 Septermber lalu sebagai pemenang dan mengalahkan pasangan calon incumbent Fauzi Bowo-Nara.
Banyak analis menyuarakan opininya seputar kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Ada yang bilang karena faktor kelas menengah yang makin cerdas memilih calon yang bisa mememcahkan persoalan-persoalan ibukota yang selama ini “menyiksa” mereka. Ada juga yang bilang karena masyarakat Jakarta menginginkan sebuah perubahan konkret yang selama ini ditunggu-tunggu namun tidak datang juga. Lima tahun pemerintahan Fauzi Bowo dinilai cukup untuk membuktikan bahwa Fauzi tidak lagi memberi harapan untuk perubahan. Satu-satunya harapan ada di calon gubernur yang baru yang pada saat ini adalah Jokowi, Sang Walikota Solo itu.
Ada faktor lain yang bisa diangkat sebagai inspirasi, yakni masyarakat sekarang tampil lebih cerdas membedakan yang baik dan yang buruk. Salah satunya adalah soal kampanye politik. Sudah jamak diberitakan bahwa pasangan Jokowi-Ahok sering mendapatkan kampanye hitam (black campaign) dengan berbagai tudingan miring. Dari anggapan tidak tahu menahu soal Jakarta, kurang pengalaman, sampai masalah yang mengaitkan dengan SARA. Isu terkait dengan agama, ras, suku menjadi bahan hiruk pikuknya kampanye hitam menjelang pencoblosan tersebut.
Dengan kemenangan Jokowi ini, kampanye-kampanye dengan mengusung isu SARA ternyata kurang mumpuni lagi. Hal ini tidak berarti tidak memiliki pengaruh. Isu SARA ini juga banyak memengaruhi banyak warga, meskipun akhirnya kemenangan Jokowi ini juga memberikan harapan bahwa masih banyak orang yang tidak terpengaruh dengan isu-isu murahan tersebut. Dan, dari hampir semua wilayah Jakarta, Jokowi-Ahok mendapatkan suara dominan.
Di tengah masyarakat yang makin cerdas, kampanye hitam tidaklah lagi mumpuni. Orang sekarang memiliki kepekaan untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang sesuai hati nurani dan mana yang bertentangan. Masyarakat menginginkan calon pemimpin yang benar-benar berkarakter. Bukan sekadar membual dengan janji-janji kosong semata.
Bila ditarik dalam konteks pemasaran, inilah yang dinamakan dengan Branding with Character. Kampanye-kampanye Jokowi lebih cenderung pada branding with character. Jokowi mampu menampilkan sosok yang beretika, berempati, rendah hati, apa adanya, optimistis, menyampaikan solusi, memberi pegharapan, dan sebagainya. Sementara, kampanye hitam justru menjadi kontraproduktif alias blunder bagi calon yang menyampaikannya.
Kampanye hitam itu bertentangan dengan kredo I Marketing 3.0, pemasaran berbasis human spirit, yaitu cintai pelanggan, hormati kompetitor. Seperti saya tulisa dalam artikel “Mengapa Hormat Pada Kompetitor itu Wajib?“, dua hal dalam frasa kredo tersebut bagaikan dua sisi satu keping mata uang alias tidak bisa dipisahkan. Saat ini, pemasar tidak hanya dituntut untuk peduli pada pelanggannya. Tapi, juga bisa menunjukkan sikap respek pada pesaingnya. Alasannya? Kalau bisnis menjalankan cara-cara tidak halal alias cara-cara jahat untuk menjegal bisnis kompetitor, tidak tertutup kemungkinan suatu saat cara-cara jahat tadi diterapkan untuk pelanggannya. Pada kasus ini, gembor-gembor “kepuasan pelanggan” hanyalah slogan dan pemanis bibir belaka.
Menghormati kompetitor adalah batu ujian utama pebisnis itu sungguh-sungguh tulus dalam melayani dan peduli pada pelanggannya. Jadi, tolok ukur utama pebisnis benar-benar peduli pada pelanggan tak lain menjaga profesionalitas dan rasa hormat dalam kompetisi. Sekali, pebisnis ketahuan berbuat jahat pada kompetitornya, pelanggannya akan berpikir ulang untul loyal kepadanya. Dengan begitu, bisa diketahui bisnis tersebut melulu dijalankan dengan nilau atau sekadar mengejar profit semata dengan halalkan segala cara.
Dalam kasus Pilkada DKI yang lalu, calon yang tidak bisa menunjukkan sikap respek pada kompetitornya itu indikasi bahwa calon itu tidak bisa respek pada konstituennya. Kampanye tanpa karakter itu justru menunujukkan sisi buruk dan juga jahat dari para calon di awal. Logika simpelnya adalah bagaimana ia bisa dipercaua bakal menghormati para warganya kalau dengan kompetitornya saat kampanye saja, dia tidak menaruh hormat?
Kasus kemenangan Jokowi ini menarik untuk dijadikan pelajaran, baik bagi merek maupun bagi mereka yang sedang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Pelajaran lain dari kemenangan Jokowi-Ahok adalah masyarakat sekarang memiliki harapan bisa menerima perbedaan dan pluralisme yang selama ini sering mendapat cobaan berat dengan isu-isu sektarian dan praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama dan perbedaan ras. Masyarakat tampil lebih inklusif dan mulai mendobrak batasan-batasan yang membuatnya eksklusif. Dengan ini, masyarakat juga mulai mengandalkan akal sehatnya ketimbang terpengaruh dengan isu-isu murahan. Selain itu, masyarakat juga lebih menyukai karakter pemimpin yang sosial dan horisontal alias mau berbaur dan mendengarkan  masyarakat ketimbang vertikal yang doyan menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendak.
Sekali lagi, sosok Jokowi memang fenomenal. Namanya populer justru karena dia berani menempuh jalur tidak populer, tidak seperti yang dilakukan oleh para pemimpin lainnya. Banyak pemimpin daerah, misalnya, lebih doyan narsis dengan memasang foto wajahnya di baliho-baliho di seputar kota, Jokowi mengaku tidak pernah melakukan sama sekali. Sebagai publik figur, Jokowi tetap membutuhkan branding. Tapi, branding yang dilakukan bukan sekadar branding yang berujung pencitraan. Branding yang dilakukan lebih mengusung pembangunan karakter dirinya sebagai seorang pemimpin yang tak lain adalah pelayan masyarakat
Namun, seperti yang saya tulis dalam “Branding With Character ala Jokowi“, sebagai manusia, tentu saja Jokowi bukanlah superhero yang sempurna seratus persen tanpa cacat. Jokowi juga memiliki kelemahan dan keterbatasan. Tapi, kelemahan dan keterbatasan ini tidak menjadi alasan untuk membangun diri sebagai seorang manusia dan pemimpin yang baik. Dan, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan dirinya secara individu.
Yang jelas, branding without character is nothing!

Branding Jokowi


 Jokowi memang fenomenal. Namanya populer justru karena dia berani menempuh jalur tidak populer, tidak seperti yang dilakukan oleh para pemimpin lainnya. Banyak pemimpin daerah, misalnya, lebih doyan narsis dengan memasang foto wajahnya di baliho-baliho di seputar kota, Jokowi mengaku tidak pernah melakukan sama sekali. Sebagai publik figur, Jokowi tetap membutuhkan branding. Tapi, branding yang dilakukan bukan sekadar branding yang berujung pencitraan. Branding yang dilakukan lebih mengusung pembangunan karakter dirinya sebagai seorang pemimpin yang tak lain adalah pelayan masyarakat.
Jokowi juga dikenal cukup getol dalam memerangi masalah birokrasi. Di Solo, Jokowi perjuangannya mengubah sistem birokrasi dihadapkan pada aktivitas dan kultur korupsi di kalangan pejabat. Di saat muncul pesimisme mengubah budaya buruk birokrasi ini, Jokowi optimistis birokrasi masih bisa diubah dan dibenahi. Langkah awalnya ia tempuh dengan sistem pengurusan Kartu Tanda Penduduk yang lebih efektif dan efisien. Dari emmpat minggu proses pengurusan KTP, dan ini sering tergantung uang sogokan, Jokowi mengubahnya menjadi satu jam jadi berkat pemanfaatan teknologi digital.
Tindakan tidak populer lain yang Jokowi lakukan adalah dengan memecat empat orang camat dan lurah yang tidak mau datang rapat pembuatan sistem KTP baru karena merasa tidak yakin sistem bisa dijalankan. “Saya copot karena niat saja tidak punya, apalagi melaksanakannya,” kata Jokowi seperti dikutip VIVAnews.
Mendekatkan diri dengan warga menjadi langkah yang diambil Jokowi selaku pemimpin. Pendekatannya pun tidak pilih-pilih, tidak hanya memilih mereka yang mempunyai duit saja, tapi juga mereka yang secara strata ekonomi berada di posisi bawah. Ia lebih mengedepankan program ekonomi kerakyatan. Sebab itu, ia mempunyai program untuk memberdayakan pasar-pasar tradisional ketimbang mal (meski tidak suka mal, dia mengaku tidak antimal). Dia juga menjamin perlindungan kepada para pedagang kaki lima yang di beberapa kota lain rentan oleh penggusuran dan kekerasan dari satpol pp. Lebih menarik lagi, Jokowi berhasil mengubah citra satpol pp yang sangar dengan citra yang lebih mengayomi. Ia pun memasang para pamong praja perempuan untuk memberi sentuhan pengayoman tersebut.
Dalam hal penataan kota, seperti yang ia ungkapkan di awal tahun 2011, Jokowi menerapkan strategi co-creation. Ia ingin menerima masukan sekaligus melibatkan warga dalam pembangunan tersebut. Salah satu caranya, ia membuka sayembara pembuatan desain kita. Ini satu langkah lebih maju ketimbang lelang yang selama ini sering digunakan di kota-kota lain. Dengan sayembara ini, Jokowi berhasil merangkul warga dari aneka profesi untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota Solo.
Meski tetap memelihara kultur dan tradisi di Solo, Jokowi tidak ingin Solo menjadi kota yang terasing. Konektivitas kota Solo dengan kota-kota lain di Indonesia, bahkan dunia, menjadi sesuatu yang signifikan di era sekarang. Internet menjadi kunci. Jokowi ingin membangun Solo sebagai connected city dengan sebutan Cyber City. Upaya konkretnya adalah dengan memasang layanan hotspot gratis di 51 titik kelurahan, lima titik kecamatan, dan 17 titik di areal publik. Bahkan, ada rencana membangun zona hotspot sepanjang tujuh kilometer dari Kleco sampai Panggung dengan jarak sebar kanan-kiri sejauh 500 meter.
Konektivitas ini juga ia bangun sendiri dengan terjun di media sosial, jejaring sosial yang sedang tren. Dengan akun @jokowi_do2, ia menyapa dan dengan telaten melayani respons dari pengikutnya di Twitter. Twitter dengan biografi berbunyi “Pengennya sederhana dalam kesederhanaan” itu saat tulisan ini diturunkan memiliki pengikut sejumlah 72856 akun. Ia juga bisa disapa dan menyapa di laman Facebook di http://facebook.com/jokowi.
Kabar terakhir, walikota Solo ini mengkampanyekan mobil buatan Anak Negeri, yakni siswa-siswa SMK 2 dan SMK Warga Surakarta.  Ia pun tidak sekadar berkampanye, tapi juga menjadikan mobil buatan pelajar Solo itu. Sebelumnya, ia dikabarkan menolak untuk mengganti mobil dinas lamanya sedan Toyota Camry dengan mobil baru. Mobil warna hitam bermerek “Kiat Esemka” langsung dipasangi plat nomer AD 1 A. Jokowi mengaku senang sekaligus bangga dengan mobil buatan anak Indonesia yang menurutnya tidak kalah dengan buatan Jepang tersebut. Ini menjadi contoh keberpihakan Jokowi pada produk buatan dalam negeri. Meski tentu saja, mobil ini kudu melewati ujian panjang di lapangan.
Paling tidak apa yang dilakukan oleh Jokowi bisa dilihat “melawan arus” di tengah keglamoran dan sikap boros yang ditunjukkan secara vulgar oleh para pejabat, baik yang ada di daerah, di jajaran kabinet, maupun di gedung DPR.
Tapi, itulah Jokowi yang lebih senang membangun karakter sebagai pribadi dan pemimpin ketimbang gembar-gembor janji kampanye kosong penuh muslihat alias branding tanpa isi. Dengan membangun jejak rekam yang baik inilah, kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Inilah branding with character dari sosok Jokowi– mungkin Jokowi sendiri tidak suka dengan istilah branding yang saya pakai ini.
Sebagai manusia, tentu saja Jokowi bukanlah superhero yang sempurna seratus persen tanpa cacat. Jokowi juga memiliki kelemahan dan keterbatasan. Tapi, kelemahan dan keterbatasan ini tidak menjadi alasan untuk membangun diri sebagai seorang manusia dan pemimpin yang baik. Dan, tulisan ini tidak dimaksudkan  untuk mengkultuskan dirinya secara individu.
Yang jelas, branding without character is nothing!
*Referensi: berbagai sumber

Jumat, 12 Oktober 2012

Kita Bersama

 
 Kang..." dia berbisik memanggil saya dari belakang.

Saya menengok ke arahnya, mengonfirmasi sesuatu, "Ya, De?" tanya saya.

dia hanya menggelengkan kepalanya. "Enggak," katanya. Lalu dia mendekat, meraih tangan saya. "Hanya memastikan kita sedang bersama," katanya, sambil tersenyum.

Saya membalas senyumnya. Wherever You Will Go dari The Calling mengalun lembut dalam kepala saya.


Insan Luar Biasa



http://images.fauziach.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/RmwycgoKCmQAAGknejg1/bald-eagle-flight.jpg?et=5xqSo%2B3rk5%2Cc%2BflmX7iAvw&nmid=45677536
Penat menggelayut manja pada raga
Letih bersandar pelan dalam sapaan purnama
Beban pundak ini begitu kuat
Hingga mengalahkan nurani mengeja tugas kewajibannya
Ya, diri mengerti..
Jika langkah ini masih tertatih
Panjang jalan kehidupan ini masih samar terlihat
Diripun merasakan...
Perih, lebam dari sebuah perjuangan
Peluh, pucat dari ketegaran jiwa menempa ilmu kehidupan
Itu semua tetap selalu hadir mengiringi sepenggal napas yang tersisa
Dan menjelma dalam harapan-harapan suci
Sebuah harapan yang mampu menopang gundah gulana yang mampu meluluhlantahkan paradigma paksa dari mereka
Yang hanya bisa terpatri dalam keyakinan dan keteguhan hati
Ya, diri tersenyum...
Mendapati sadar bertemu dengan gambaran diri
Begitu indahnya sayatan serta luka yang terkadang menyentuh mesra begitu istimewanya keteguhan merajai setiap mimpi-mimpi mustahil ini
Begitulah, Tuhan mencoba memperlihatkan hasil karyanya pada engkau dan aku
Sebab, Tuhan tahu kita adalah insan yang luar biasa..

Dalam kobong rindu
9 Oktober 2012
Menjelang waktu Dzuhur