Bogor Jawa Barat

Institute Pertanian Bogor.

Universitas Negeri Yogyakarta

Fakultas Tekhnik.

SMECDA

Kementrian Koperasi dan UKM Jakarta.

BPU UPI

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Sabtu, 28 April 2012

Biografi Politik Sir Winston Leonard Spencer Churchill


Sir Winston Leonard Spencer Churchill (30 November, 1874 – 24 Januari, 1965) adalah tokoh politik dan pengarang dari Inggris yang paling dikenal sebagai Perdana Menteri Britania Raya sewaktu Perang Dunia Kedua. Peranannya sebagai ahli strategi, orator, diplomat dan politisi terkemuka menjadikan Churchill salah satu dari tokoh paling berpengaruh di sejarah dunia. Pada tahun 1953, Churchil dianugrahkan penghargaan Nobel di bidang literarur karena sumbangan yang ia berikan dalam buku-buku karangannya mengenai bahasa inggris dan sejarah dunia.

Masa kecil

Nama keluarga Churchill yang sebenarnya adalah Spencer-Churchill (karena ia mempunyai hubungan darah dengan keluarga Spencer), tetapi dimulai dengan ayahnya, Lord Randolph Churchill, seluruh keluarganya mulai menggunakan nama keluarga Churchill.

Winston Churchill adalah keturunan dari keluarga Churchill pertama yang dikenal luas, John Churchill, Duke Marlborough pertama. Ayah Winston, Lord Randolph Churchill, adalah toloh politik yang juga merupakan anak ketiga dari John Spencer-Churchill, Duke Marlborough ke-7. Ibu Winston adalah Lady Randolph Churchill (Jennie Jerome), putri dari jutawan Amerika Leonard Jerome.

Winston Churchill dilahirkan di Blenheim Palace di Woodstock, Oxfordshire; ia dilahirkan tanpa persiapan ketika ibunya mulai mengalami kontraksi ketika sedang bepergian di kereta kuda.

Seperti anak laki-laki lain yang berasal dari kelas atas di masa itu, masa kecilnya kebanyakan dihabiskan di asrama sekolah. Salah satu anekdot yang tersebar luas adalah cerita sewaktu Churchill menulis ujian masuk ke Sekolah Harrow. Ketika ujian bahasa Latin, ia hanya menulis titel, namanya, nomor 1 dan titik. Meskipun ia diterima masuk, ia ditempatkan di kelas untuk murid yang tidak berprestasi, pelajaran dikonsentrasikan ke bahasa Inggris, bidang pelajaran yang dikuasai dengan sangat baik oleh Churchill. Sekarang, setiap tahun, sekolah Harrow memberikan penghargaan Churchill (Churchill essay-prize) untuk karangan yang membahas topik yang telah ditentukan sebelumnya oleh kepala bagian bahasa Inggris.

Ibunda Churchill (dikenal pada waktu itu sebagai Lady Randolph) jarang mengunjungi putranya, meskipun begitu Churchill sangat mencintai dan mengagumi ibunya. Churchill sering menulis surat, meminta ibunya untuk datang menjenguk atau meminta ayahnya agar membiarkan ia pulang ke rumah. Setelah Winston dewasa, hubungan antara Winston dan ibunya menjadi lebih dekat, sehingga hubungan mereka lebih mirip dengan hubungan kakak-beradik dan persahabatan yang erat.

Hubungan antara Churchill dan ayahnya tidaklah erat, meskipun begitu ia selalu mengikuti karir ayahnya. Pada tahun 1816, dia memproklamasikan, "Ayah saya adalah kanselir keuangan (Chancellor of the Exchequer) dan satu hari nanti, akupun akan melakukan hal yang sama." Ia tidak mempunyai banyak teman sewaktu kecil dan hal ini selalu teringat olehnya. Churchill sangat dekat dengan pengasuhnya, Elizabeth Anne Everest, dan sangat sedih sewaktu ia meninggal pada 3 Juli, 1895. Churchill membayar biaya pemakamannya di City of London Cemetery and Crematorium.

Prestasinya di Harrow tidak memuaskan, Churchill sering dihukum karena nilainya yang buruk dan dianggap tidak berusaha untuk belajar lebih baik. Perilakunya yang independen dan sifatnya yang sering memberontak menjadi halangan untuk mempelajari mata pelajaran klasik seperti bahasa Latin dan sejarah Yunani kuno. Meskipun demikian ia menunjukan bakat besarnya di mata pelajaran lain, seperti sejarah, dimana ia sering mendapatkan nilai terbaik. Churchill sering dianggap, terutama kare ia sendiri beranggap begitu, gagal untuk berprestasi di sekolah. Akan tetapi dia pernah berprestasi dengan menjuarai pertandingan anggar di sekolah.

Churchill pernah menjadi anggota freemason sekitar tahun 1895, beberapa saat setelah ayahnya meninggal sampai sekitar tahun 1912.

Dinas Militer

Churchill menghadiri akademi militer di Sandhurst. Setelah lulus pada umur 20 tahun, Churchill bergabung dengan tentara sebagai Subaltern (mirip dengan pangkat letnan) di regimen kavaleri Hussar IV (dengan nama regimen Queen's Own). Regimen ini ditempatkan di Bengaluru, India. Setelah ia tiba di India, Churchill mengalami cedera di bahunya.

Di India, Churchill menghabiskan sebagian besar waktunya bermain polo. Situasi ini tidak memuaskan Churchill yang masih muda dan haus pengalaman militer. Ia mulai mencari kesempatan untuk bisa bergabung dalam perang. Tahun 1895, Churchill dan Reggie Barnes mendapatkan ijin pergi ke Kuba untuk menjadi pengamat perang antara prajurit Spanyol dan gerilyawan Kuba. Churchill juga mendapatkan komisi untuk menjadi koresponden surat kabar Daily Graphic. Churchill sangat gembira ketika ia terlibat dalam baku tembak untuk pertama kali pada ulang tahunnya yang ke 21. Sewaktu dalam perjalanan ke Kuba, ia sempat mengunjungi Amerika Serikat untuk pertama kalinya dan diperkenalkan ke komunitas New York oleh teman dekat ibunya, Bourke Cockran.

Pada tahun 1897 Churchill mencoba untuk mengunjungi Perang Yunani-Turki akan tetapi perang ini berakhir sebelum ia tiba di medan perang. Karena itu ia memutuskan untuk mengambil cuti dan berlibur di Inggris. Begitu ia mendengar mengenai pemberontakan Pathan di North West Frontier, India (sekarang merupakan daerah Pakistan), ia langsung kembali ke India untuk berpartisipasi dalam perang untuk mengakhiri pemberontakan tersebut.

Sir Bindon Blood, pemimpin dari pasukan expedisi yang ditugaskan untuk melawan pemberontak Pathan, telah menjanjikan Churchill bahwa ia dapat ikut serta di konflik ini. Sewaktu bertugas di pasukan expedisi selama enam minggu, Churchill juga menulis artikel untuk surat kabar The Pioneer dan The Daily Telegraph untuk 5 poundsterling per artikel. Bulan Oktober tahun 1897, Churchill kembali ke Inggris. Buku pertamanya mengenai konflik diatas, The Story of Malakand Field Force, diterbitkan pada bulan Desember.

Secara resmi Churchill masih ditempatkan di India, tapi ia berhasil mendapat ijin cuti jangka panjang. Oleh karena itu, Churchill dapat meluangkan waktunya untuk berusaha agar dipilih sebagai prajurit yang akan dikirim untuk kembali menguasai Sudan, pasukan ini dipilih dan akan dipimpin oleh Horatio Kitchener. Kitchener sebenarnya tidak menginginkan Churchill sebagai pasukannya, akan tetapi Churchill meggunakan koneksinya sehingga Perdana Menteri Robert Arthur Talbot Gascoyne-Cecil mengirim telegram ke Kitchener. Pada akhirnya, Churchill berhasil mendapat posisi di 21st Lancers -- pasukan yang dipilih langsung oleh Departemen Peperangan (War Office), dan bukan Kitchener. Ia juga menjadi koresponden perang bagi surat kabar Morning Post dengan upah 15 poundsterling per artikel. Churchill ikut serta dalam serbuan kavaleri (cavalry charge) Inggris yang terakhir dalam pertempuran di Omdurman. Bulan Oktober 1898, Churchill telah kembali ke Inggris dan mulai menulis buku The River War yang diterbitkan dalam dua volume di tahun berikutnya.

Di tahun 1899 Churchill meninggalkan dinas militer dan memutuskan untuk menitis karir di parlemen. Ia menjadi kandidat bagi partai konservatif di Oldham akan tetapi hanya bisa menduduki tempat ketiga dalam pemilihan tersebut, sementara Oldham pada waktu itu hanya mempunyai kuota untuk dua kursi.

Tanggal 12 Oktober 1899, Perang Boer kedua dimulai di Afrika
Selatan, yang melibatkan Britania dan Afrikaners. Churchill menjadi koresponden perang untuk Morning Post selama empat bulan dan mendapatkan upah 250 poundsterling per bulan. Setelah tiba di Afrika Selatan, ia ikut menumpang di kereta api yang digunakan oleh tentara Inggris dibawah pimpinan Aylmer Haldane. Kereta ini kemudian tergelincir keluar jalan rel karena serangan dari pasukan Boer yang menggunakan bahan peledak. Churchill, meskipun sudah menjadi rakyat sipil, memimpin pasukan untuk membersihkan jalan rel dari sisa-sisa ledakan sehingga lokomotif dan beberapa gerbong kereta api yang membawa korban luka dapat dievakuasi. Meskipun kereta api itu akhirnya dapat meloloskan diri, Churchill, beberapa perwira dan prajurit lain tertangkap dan menjadi tahanan perang di Pretoria.

Churchill berhasil meloloskan diri dari penjara tahanan perang. Aksi ini mengakibatkan banyak kritik dan kontroversi karena ada yang menganggap bahwa Churchill seharusnya menunggu untuk Haldane dan satu orang lagi yang merencanakan pelarian tersebut, kedua orang ini tidak mampu atau tidak mau mengambil risiko meloloskan diri dengan memanjat pagar. Setelah berada diluar penjara Pretoria, Churchill menjelajah hampir 480 kilometer ke koloni Portugal di Lourenco Marques, Maputo Bay. Seorang warga negara inggris yang berprofesi sebagai manajer tambang membantu Churchill dengan menyembunyikan Churchill di tambangnya. Kemudian dia menyeludupkan Churchill kedalam kereta yang bertujuan keluar dari daerah Boer. Dengan aksi ini Churchill menjadi pahlawan nasional di Britania. Akan tetapi Churchill tidak kembali ke Inggris, ia memutuskan untuk menumpang kapal laut ke Durban untuk bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh jendral Redvers Buller. Pasukan ini bertujuan untuk menghancurkan pasukan Boer yang mengepung kota Ladysmith, jika berhasil pasukan ini juga bertujuan untuk mengambil kota Pretoria.

Pada kali ini, meskipun masih menjadi koresponden perang, Churchill juga mendapatkan posisi di regimen kavaleri. Ia ikut serta dalam pertempuran di Spion Kop dan menjadi salah satu prajurit inggris pertama yang memasuki Ladysmith dan Pretoria. Bahkan Churchill dan sepupunya, Charles Spencer-Churchill (Duke Marlborough ke-9), berposisi jauh didepan pasukan inggris yang lain di Pretoria. Kedua orang ini kemudian menuntut dan menerima penyerahan diri dari 52 prajurit Boer yang menjaga penjara.

Churchill menerbitkan dua buku mengenai perang Boer, London to Ladysmith via Pretoria yang diterbitkan pada bulan Mei dan Ian Hamilton's March pada bulan Oktober tahun 1900.

Karir Politik

Churchill menggunakan kemashyuran yang didapatinya untuk memulakan kerjaya politik yang merangkumi tempoh selama enam puluh tahun, bertugas sebagai seorang MP di House of Commons dari 1901 sehingga 1922 dan dari 1924 sehingga 1964. Sebagai anggota Conservative Party, dia pindah ke Liberals dan menyertai Kabinet ketika berusia awal tiga puluhan. Dia merupakan salah seorang daripada perancang politik dan ketenteraan bagi pendaratan Gallipoli yang menemui kegagalan di Dardanelles ketika Perang Dunia I, yang menyebabkan dia digelar sebagai "penyembelih Gallipoli". Dia merupakan salah seorang yang menandatangani perjanjian Anglo-Irlandia pada tahun 1921 yang menubuhkan Negara Irlandia Bebas. Partai Liberal kemudian dilanda perpecahan internal. Setelah kalah pada pemilu 1922 kepada Edwin Scrymgeour dia menyertai Partai Konservatif semula. Dua tahun kemudian pada pemilu 1924 di dilantik mewakili Epping sebagai Konservatif. Dia dilantik sebagai Chancellor of the Exchequer pada tahun 1926 di bawah Stanley Baldwin dan bertanggungjawab mengembalikan Britania kepada Standard Emas. Ketika General Strike of 1926, Churchill dikatakan mencadangkan mesingan digunakan untuk mematahkan mogok pelombong. Churchill menyunting surat kabar kerajaan British Gazette. Ketika pertelingkahan tersebut dia menyuarakan bahawa "Samaada negara mematahkan Mogok Umum, atau Mogok Umum akan menghancurkan negara.".

Kerajaan Konservatif telah ditewaskan dalam Pemilu Inggris 1929. Apabila Ramsay MacDonald membentuk kerajaan pada 1931, Churchill tidak dijemput untuk menyertai Kabinet. Churchill berada puncak terendah dalam kerjayanya. Churchill menghabiskan beberapa tahun berikutnya untuk menumpu kepada kerja penulisannya, termasuk History of the English Speaking Peoples (yang tidak diterbitkan sehinggalah selepas tamat Perang Dunia II). Churchill terkenal dengan penentangannya terhadap kemerdekaan India. Tidak lama selepas itu, perhatiannya tertumpu kepada kemunculan Adolf Hitler dan peningkatan senjata Jerman. Buat seketika, Churchill merupakan suara tunggal yang menyeru British untuk meningkatkan persenjataan bagi menyaingi keganasan Jerman. Churchill merupakan pengkritik Neville Chamberlain polisi mengembirakan Adolf Hitler.

Peranan sebagai Perdana Menteri Waktu Perang

Pada awal Perang Dunia II Churchill dilantik sebagai First Lord of the Admiralty Apabila Chamberlain's meletak jawatan pada bulan May, 1940, Churchill dilantik sebagai Perdana Menteri dan membentuk kerajaan gabungan. Churchill segera menjadikan seorang kawan dan penasihat karibnya, Max Aitken, (Lord Beaverbrook) seorang usahawan industri dan pemilik akhbar terkemuka, orang yang bertanggungjawab bagi mengendalikan pengeluaran kapal terbang. Ketangkasan fikiran perniagaan Max Aitken membolehkan British meningkatkan kejuruteraan dan pengeluaran kapal terbang dengan pantas, yang menyumbang kepada kejayaan ketika waktu perang.

Ucapan Churchill yang pertama pada masa itu merupakan sumber inspirasi penting kepada pihak British yang tertekan. Kenyataannya yang terkemuka "Saya tidak mempunyai apa-apa untuk ditawarkan kecuali darah, kerja kuat, air mata, dan peluh" merupakan ucapan pertamanya sebagai Perdana Menteri. Ucapan berikutnya sebelum Pertempuran Britania, dengan "Kita akan mempertahankan pulau kita, walau apapun harganya, kita akan bertempur di pantai, kita akan bertempur di tempat pendaratan, kita akan bertempur di padang dan jalan, kita akan bertempur di bukit; kita tidak akan sekali-kali menyerah."

Walaupun peranan Churchill dalam Perang Dunia II tidak dapat disangkal, dia mempunyai banyak musuh di negerinya. Dia menyuarakan kebenciannya kepada ide seperti penyediaan kesehatan umum dan pendidikan yang lebih baik untuk mayoritas penduduk menyebabkan banyak rasa tidak puas hati di kalangan penduduk terutama mereka yang bertempur ketika peperangan. Segera setelah perang usai, Churchill dikalahkan dengan buruk oleh Clement Attlee dan Partai Buruh (Inggris).

Penggal Kedua

Selepas kekalahan Partai Buruh (Inggris) pada Pemilu 1951, Churchill kembali menjabat jabatan Perdana Menteri. Pada tahun 1953, Winston Churchill dianugerahi dua gelar kehormatan. Dia dikaruniakan gelar Sir menjadi Sir Winston Churchill dan Winston Churchill dianugerahkan Hadiah Nobel dalam penulisan untuk kepakarannya dalam penulisan riwayat dan sejarah dan juga kepintarannya berbicara dalam mempertahankan nilai kemanusiaan yang tinggi. Serangan angin ahmar pada Juni 1953 memyebabkan Winston Churchill lumpuh sebelah kiri. Winston Churchill bersara disebabkan kesehatan pada 5 April 1955 tetapi mengekalkan jabatannya sebagai Chancellor bagi University Bristol.

Pada 15 Januari 1965, Winston Churchill mengalami angin ahmar kedua -evere cerebral thrombosis - yang menyebabkan dia sakit parah. Winston Churchill meninggal sembilan hari kemudian pada 24 Januari 1965. Jasadnya diletakkan di Westminster Hall selama tiga hari dan upacara permakaman negara diadakan di St Paul's Cathedral. Ini merupakan kali pertama permakaman negara diadakan untuk orang biasa semenjak Arthur Wellesley, 1st Duke of Wellington lebih 100 tahun dahulu. Atas permintaan Winston Churchill, dia dikebumikan di tanah keluarga di Saint Martin's Churchyard, Bladon, Woodstock, Inggris.

Jumat, 27 April 2012

Mandi




Barangkali tidak berlebihan jika ibu saya begitu meyakini bahwa kualitas hidup seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia mandi pagi.

Rumah orang tua saya terletak di daerah yang cukup dingin. Jika sedang berada di sana, mandi pagi selalu menjadi masalah saya. Tetapi, setelah bertahun-tahun mengulat dalam kemalasan, pada akhirnya saya (diberi) tahu: mandi di tempat dingin bukan semata-mata tentang seberapa kuat kita menahannya, tetapi tentang kesadaran untuk mengerti sekaligus menerima bahwa dingin tak bisa ditolak begitu saja dan tubuh kita harus siap menghadapinya. Kata ibu, “Dingin? Kamu bisa bikin air jadi panas, kan?

Sesederhana nasihat ibu saya tentang mandi pagi, rupanya ada tiga kelompok manusia berdasarkan bagaimana mereka menghadapi dan menyelesaikan masalahnya.

Pertama, mereka yang kuat dan ingin selalu tampak kuat. Tak peduli seberapa dingin air dan cuaca, mereka akan memaksakan tubuhnya untuk ‘kuat’ dihajar dingin. Kelompok pertama ini memiliki semangat dan determinasi yang luar biasa dalam menghadapi masalah hidupnya. Mereka akan pasang badan untuk menghadapi semuanya—melawan semua rasa sakit dan bencana dalam hidup mereka. Tetapi, kadang-kadang kelompok ini lupa bahwa manusia adalah makhluk yang serba terbatas dan pada dasarnya lemah: pada titik tertentu, terus-menerus dihajar, mereka bisa sakit juga, kan?

Kedua, mereka yang lemah dan ingin selalu lari dari masalah. Bagi mereka, dingin adalah masalah yang tak perlu dihadapi. Kalau bisa, mandilah sesiang mungkin agar tak terlalu dingin. Bila perlu tak usah mandi. Tetapi, sudah terbukti sejak jutaan tahun yang lalu, lari dari masalah hanya akan mengantarkan manusia pada masalah lainnya, kan? Kata ibu saya, masalah harus dihadapi dan diselesaikan, “Mau mandi jam lima, jam enam, atau jam sebelas, airnya tetap dingin, kok. Mungkin cuma sedikit bedanya. Tiga jam menunda mandi, untuk perbedaan yang sedikit? Yang benar saja! Lebih baik mandi sesegera mungkin dan kerjakan urusan yang lain!” 

Ketiga, mereka yang selalu beradaptasi. Kelompok ini sadar betul bahwa manusia memiliki sisi kuat dan sisi lemah dalam dirinya. Mereka tahu apa yang sanggup mereka tahan dan apa yang tak sanggup mereka tahan. Sebab dalam rasa sakitlah manusia dapat menemukan kekuatannya, mereka tidak memilih untuk ‘pura-pura kuat’ atau ‘menjadi lemah dengan lari dari masalah’: Mereka memilih untuk beradaptasi dengan hidup yang mereka hidupi dan hidup yang ingin mereka hidupkan. Ya, mereka menghadapi masalah; Bukan untuk menolak atau melawannya, tetapi bernegosiasi dengan dirinya sendiri untuk mencari kemungkinan-kemungkinan terbaik agar mereka bisa menyelesaikannya—atau paling tidak menguranginya. Dalam perkara mandi pagi, mereka pandai memerhatikan situasi. Jika kuat, ya mandi. Jika tidak, seperti kata ibu saya: kita bisa bikin air jadi panas, kan?

Maka, berbahagialah orang yang bisa bernyanyi di kamar mandi. Dan bagi mereka yang mandi saja masih cemberut, segeralah sadar! Jika hidup masih terasa sulit. Paling tidak, mandilah dengan berbahagia.

Kamis, 26 April 2012

Biografi Cak Nun

Muhammad Ainun Nadjibatau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nunlahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu. Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuatrumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjasjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya be baik sudah berdakwah," katanya.

Biografi Emha Ainun Nadjib
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama Istrinya Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di ntuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan. Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah..."

Biografi Emha Ainun Nadjib
Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. "Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid. Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. "Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=24
http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/e/emha_ainun_nadjib/
http://biografi.rumus.web.id/2010/10/biografi-emha-ainun-nadjib.html

Inspirasi Pemikiran Gusdur

    Islam-Arab versus Islam-Indonesia
    Tiga dekade yang lalu, Almaghfurlah Gus Dur pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, "Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?" Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi jika dibaca pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka termuat dua paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi Nusantara ini.
    Mencermati model pertanyaanya, tentu saja asumsi dasar pertanyaan ini membedakan "keislaman" dan "keindonesiaan" sebagai dua entitas yang independen, tak berhubungan satu sama lain: originalitas Indonesia menurut Agus Sunyoto adalah kapitayan-bukan animisme dan dinamisme-dengan ragam kebudayaan yang melikupinya. Sementara originalitas Islam adalah Arab dengan ragam kebudayaan yang menyertainya.
    Pertanyaan ini dilontarkan Gus Dur ketika sebagian orang Islam di Indonesia marak menggunakan identitas ke-Arab-an untuk meneguhkan identitas dirinya sebagai orang Islam. Dengan identitas itu, dalam benak mereka, seolah-olah Islam itu Arab dan Arab itu Islam. Untuk menjadi Muslim, seseorang harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara yang ke-arab-arab-an, berjenggot dan berjambang lebat, berpakaian jubah, abaya hitam-hitam bercadar, atau seperti pakaian orang Afghanistan, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model keislaman.
    Muslim yang berblangkon (peci khas Jawa, Cirebon), bersarung, masih menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktivitasnya, senang berziyarah kubur, memperingati tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau setahun (haul) dari kematian leluhurnya dianggap tidak lebih-saleh dan tidak lebih-Islam ketimbang mereka yang serba-Arab itu. Karena semua itu dianggap bukan Islam, tapi tahayyul, bid'ah,dan churafat(dulu dikenal TBC). Keislaman kelompok ini disebut Islam sinkretis, yakni Islam campuran antara "Islam-murni" dengan budaya lokal setempat.
    Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti "Islam masa Rasulullah" dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya.
    Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata "Arab" adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil 'alamin, menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta.
    Selain itu, adalah imposible mempraktikkan Islam-murni pada saat sekarang dan di tempat yang sama sekali berbeda dengan budaya Arab. Kebudayaan Arab sendiri dan sejumlah tempat ibadah yang yang disucikan umat Islam di Arab, seperti ka'bah, masjidil haram, tempat sa'i, padang Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain-lain kini telah mengalami perubahan secara signifikan ketimbang masa Rasulullah dulu karena perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia sekarang.
    Inilah keresahan Gus Dur melalui pertanyaan kritisnya yang saya kutip di atas.
    Islam-serba Arab itulah paradigma "orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia".  Identitas dasarnya adalah Islam (yang dalam pandangan mereka adalah Arabisme). Untuk menjadi Islam, Indonesia dengan seluruh kebudayaannya harus di-arab-kan. Jika Indonesia tidak bisa diarabkan, maka mereka membuat identitas keislaman sendiri secara eksklusif di dalam sistem kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia disebutnya bid'ah (bukan bagian dari ajaran Islam) dan semuabid'ah adalah menyimpang dan sesat. Paradigma ini tentu cenderung eksklusif dalam kebudayaan Indonesia, bahkan dalam banyak hal terjadi konflik kebudayaan.
    Kebalikan dari cara pandang di atas adalah paradigma "orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam". Paradigma ini memandang Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal  kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat mengapresiasi kebudayaan lokal, bahkan berpendapat bahwa al-'âdatu muhakkamah (adat/tradisi dapat dijadikan hukum). Menjadi Muslim, tidak harus Arab. Dengan budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
    Di Bayan Lombok Barat, misalnya, terdapat pergumulan yang intensif antara Islam dengan kebudayaan setempat, yang tercermin dalam komunitas Wetu Telu. Tanpa harus menjadi Arab dan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang universal itu, seseorang bisa mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Islam Wetu Telu adalah potret Islam lokal yang bertahan dengan keaslian dan "kejujuran"nya.
    Keberadaannya bukan tanpa hambatan dan ancaman. Cercaan dan stigma "sesat", "menyimpang", "sinkretis", "belum sempurna", dan sejenisnya biasa dilekatkan oleh kelompok Islam lain yang merasa sempurna dan lebih benar, Islam Waktu Lima. Lagi-lagi, ini adalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis dengan kontekstualis, konservatif dengan inovatif, arabis dengan kultural, dan varian-varian Islam lain.
    Dengan demikian, Islam memang universal. Dalam universalitasnya, Islam dapat dipraktikkan dan diwujudkan dalam setiap kebudayaan di belahan dunia. Universalitas Islam terletak kepada nilai-nilai dasar ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, keadilan, kerahmatan, kebaikan, dan kasih sayang, beserta prinsip-prinsip dasar pengembangannya. Ekspresi Islam dalam kehidupan nyata tentu bergantung pada lanskap sosiologis dan kultural di mana Islam dipraktikkan. Indonesia-dengan segala karakteristik kebudayaan dan keberislamannya--sesungguhnya telah dapat menjadi varian Islam sendiri di dunia, yakni Islam-Indonesia, tanpa harus menjadi Arab, Timur Tengah, Barat, atau Eropa.
    Realitas yang lain
    INDONESIA adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia juga bisa jadi negeri pemilik mesjid dan pendidikan Islam terbanyak di dunia-mulai dari pendidikan anak usia dini, pesantren, hingga pendidikan tinggi. Setiap tahun, Indonesia adalah penyumbang jama'ah haji dan umrah terbanyak di negeri kelahiran Rasulullah SAW. Meski tidak secara terang-terangan menyebut diri negara Islam, tetapi dalam setiap perhelatan negara-negara Islam di dunia, suara Indonesia selalu diperhitungkan.
    Dengan sejumlah catatan buruk kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi akhir-akhir ini, terutama menyangkut pembatasan hak, pelarangan, pengusiran, pembakaran, hingga pembunuhan atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), aliran-aliran yang dituduh sesat, dan Gereja-gereja di berbagai daerah,  Indonesia masih dikenal sebagai negara yang mampu menerapkan toleransi beragama dan kerukunan kehidupan umat beragama terbaik dibanding dengan negara-negara muslim lainnya. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Nusantara. Meski Islam lahir di Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh kembang dan bahkan sangat berpengaruh di bumi Nusantara yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme.
    Indonesia pun secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam struktur dan sistem kenegaraannya. Meskipun dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan. Di dalam Istana Presiden Indonesia di Jakarta terdapat Masjid Baiturrahim, di sampingnya ada Masjid Istiqlal, masjid nasional yang dikelola oleh Pemerintah. Begitu juga di hampir seluruh Kantor Gubernur dan Bupati se-Indonesia, di depan atau di sampingnya selalu terdapat Masjid Agung yang dikelola oleh Pemerintah.
    Itulah "Islam Indonesia", "Islam ala Indonesia" yang sering Gus Dur jelaskan. Saya memilah dan membedakan terma "Islam Indonesia" dan "Islam di Indonesia." Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi yang jauh. Yang digambarkan di atas adalah "Islam Indonesia", Islam khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi Islam versi Arab. "Islam Indonesia" adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. "Islam Indonesia" bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan flagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. "Islam Indonesia" adalah semua Islam itu yang tersaring ke dalam keindonesiaan.  
    Berbeda dengan itu, "Islam di Indonesia" memberikan pengertian bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam. Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok, diduplikasi, dan diflagiasi secara sempurna dari Islam Arab. Asumsi paradigma "Islam di Indonesia" adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Di Indonesia, Islam hanya numpang, singgah, dan menjadi "orang lain" yang--apabila bisa akan--menguasai Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam, secara simbolik menyebut Syari'at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan lokal, malah cenderung memusuhinya.
    Pilar Islam Indonesia
    Di balik "Islam Indonesia" atau "Islam di Indonesia" terdapat pilar keislaman yang sangat kuat di Indonesia.  Tanpa pilar ini, Islam tidak akan berkembang di bumi Indonesia. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam di bumi Nusantara. Organisasi-organisasi ini memiliki akar jama'ah yang sangat kuat di bawah, yang secara sosiologis berbeda satu sama lain. Mereka juga memiliki rasion d'etre sendiri atas kehadirannya di Indonesia, mempunyai aset keagamaan, memiliki infrastruktur sampai ke desa, dan yang terpenting mereka menggunakan nalar yang berbeda satu sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadis.
    Organisasi-organisasi Islam sejenis ini di Indonesia sangat banyak. Di antaranya adalah Persyarikatan Muhamadiyyah, Al Irsyad, Persis, Nahdlatul Ulama, al-Washliyyah, Perti, Darud Da'wah wal Irsyad, Nahdlatul Wathan, Mathla'ul Anwar, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam ini adalah bagian dari peradaban dan kekayaan intelektual "Islam Indonesia." Inilah Islam Nusantara yang membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang secara umum sangat toleran, dapat hidup rukun dengan agama-agama lain, menerima dasar negara Pancasila, menghargai kebudayaan lokal dan kebhinekaan, dan memiliki ikatan sosial yang sangat kuat.
    Munculnya isu terorisme, "Islam garis keras", "Islam ekstrim", dan "Islam fundamentalis", yang merongrong dasar negara Pancasila, menggunakan kekerasan dalam menegakkan Syari'at Islam, menyuarakan negara Islam dan khilafah Islamiyah secara simbolik, sesungguhnya bukan produksi asli Islam-Indonesia.  Itu adalah gerakan Islam transnasional yang diimpor dari negara-negara Timur Tengah.  Gejala ini muncul sepuluh tahun terakhir saja, setelah rezim Orde Baru tumbang.
    Gerakan Islam transnasional ini sesungguhnya tidak memperoleh dukungan kuat dari mayoritas Muslim Indonesia. Hanya saja, karena suara mereka nyaring dan keras, sehingga memperoleh perhatian media massa dan membuat ketakutan sebagian pemerintah, politisi, dan aparat negara lainnya. Atas ketakutan ini, seolah-olah mereka memperoleh dukungan politik.  
    Negara Pancasila
    Gus Dur adalah tokoh Muslim terdepan yang menentang negara Islam simbolik di Indonesia. Gus Dur memandang bahwa Pancasila adalah kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai negara. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Gus Dur dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya sebagai ulama-pesantren, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi.
    Telah lama ia berpendapat bahwa umat Islam harus berpegang pada Pancasila. Ia memahami Pancasila sebagai syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di matanya, Indonesia adalah sebuah negara yang didasarkan pada konsensus dan kompromi dan kompromi itu inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan, Gus Dur berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai (dar al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal ini adalah cara yang paling realistik secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
    Lebih jauh, bagi Gus Dur, hal ini sepenuhnya konsisten dengan doktrin keagamaan Islam yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan negara Islam. Islam tandas Gus Dur tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif dan baku. Dalam persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak memiliki sistem yang baku; terkadang memakai istikhlâfbai'at danahl al-hall wa al-‘aqdi (sistem formatur). Padahal, dalam pandangan Gus Dur, soal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. "Kalau memang Islam punya sistem yang baku, tentu tidak terjadi demikian," komentar Gus Dur.
    Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.
    Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara. Menurutnya, Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah komunitas agama (kuntum khaira ummatin ukhrijat li al-nâs), bukan khaira dawlatin, apalagi khaira mamlakatin, kilahnya.
    Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah bagaimana mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang disebutnya komitmen kemanusiaan. Baginya, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.
    Cita negara yang secara konsisten diperjuangkan Gus Dur adalah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme politik harus dijauhi. Termasuk di sini adalah pemberlakukan ajaran agama melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Sebab, tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara.
    Yang penting bagi Gus Dur adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang ada dalam Islam, Gus Dur bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan Islam. Di mata Gus Dur, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai simbol sosial dan politik belaka. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia. Islam merupakan  faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa.
    Walhasil, visi Gus Dur tentang Indonesia masa depan adalah negara-bangsa Indonesia yang demokratis, pluralis, toleran, dan humanis, yakni negara yang menjamin kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara dari berbagai latar belakang agama, etnis, gender, aliran, bahasa, dan status sosial. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak ada diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupan mereka.
    Direktur Fahmina-instutute, Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Dosen Fak. Syari'ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon
    Sebagian isi artikel ini sudah dimuat dalam HarianKabar Cirebon, Jum’at, 30 Desember 2011.