Sabtu, 12 Mei 2012

Pemikiran Politik Soe Hok Gie


Di kehidupan tahun 60-an Indonesia, 20 tahun setelah Bangsa Indonesia mendeklarasikannya dirinya sebagai Negara yang merdeka, terdapat pemikir, pengerak dan pemantau dari segala sisi di roda pemerintahan khususnya yang bernada human interest. Di kalangan pemuda dan pemudi yang tergolong reaktif  menggalakkan keadilan di zaman yang tak mengenal yang namanya keadilan, di zaman yang tak pernah mendengar aspirasi dari masyarakat, di zaman yang kesemua ketentuan berada di atas tampa mendengar sumbangsi pemikiran dari kaum intelek yang mencoba mengangkat martabat kaum tertindas, terkenal salah seorang intelek yang hadir dengan pendiriannya yang teguh dan konsisten saat hanya ada dua pilihan di Indonesia yakni apatis dan idealis, ia rela mengambil pilihan kedua walaupun ia nantinya akan di jauhi, di asingkan dan di tolak ketika ingin melakukaningrup kepada pihak lain, ya dialah Soe Hok Gie, kolumnis yang dengan tajam mengkritik pemerintah tampa pernah melihat kepentingannya sendiri dan tak pernah memperdulikan keselamatan dirinya. Ia selalu melihat ke“bawah” dan tidak selalu melihat ke“atas”. Saat iming-iming di hadapan mata, ia selalu mengambil langkah untuk menghindari iming-iming itu.

Masyarakat Indonesia, khususnya pembaca setia harian surat kabar Nasional yang beredar, pasti pernah mendengar nama Soe Hok Gie di hampir semua Harian Surat Kabar. Konsepsi pemikirannya yang analitis selalu dikaitkan dengan orang-orang besar seperti Mahatma Gandhi, yang di setiap kesempatan selalu ada dalam tulisan tangannya.

Di dalam kehidupan Soe Hok Gie, ia dikenal sebagai moralis absolut dan humanis universal. Asumsi ini di dasarkan pada prilaku dan sikapnya yang terbuka untuk bergaul dengan siap saja, entahkah dia sebagai musuh maupun lawan, seperti yang dikatakan teman sejawat Soe Hok Gie, Luki Sutirsno Bekti. Ia juga penganut paham pluralisme, multi kultural, berpandangan demokratis, dan lebih cenderung mementingkan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri.

27 tahun kehidupan Soe Hok Gie yang begitu relatif singkat, banyak membuka tabir dan membelalakkan mata orang awam. Pemikirannya yang analitis kritis digunakannya dengan sebaik-baik mungkin, ini telihat dari tulisan yang termuat di harian surat kabar nasional yang begitu frontal dan terbuka tampa menyembunyikan atau melindungi pihak lain. Ia juga sangat peduli terhadap pembunuhan massal yang tak mengenal salah atau benar, tulisan ini termuat di harian Mahasiswa Indonesia dengan artikel yang berjudul “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran Di Pulau Bali” edisi Minggu II dan Minggu III tahun 1967. Ia juga prihatin kepada para tahanan yang di tahan tampa proses hukum dan tampa batas waktu yang di tentukan, seperti salah seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang di tahan karena karya-karyanya yang di anggap sebagai provokator untuk menentang pemerintahan.

Dalam kehidupan Soe Hok Gie, yang selalu di kenal adalah Buku, Film, Seni, Alam, Cinta, Masa Lalu, dan Kemanusiaan, dan kesemuanya di olah dalam pemikiran Soe Hok Gie dan menciptakan suatu pandangan yang segar untuk merearlisasikan keidupan yang menurut dia adalah suatu yangperfect dan pemikiran ini seharusnya hidup di masanya akan tetapi hidup pula di masa sekarang. Pemikiran ini pun ia himpun dalam suatu konsepsi yang tak pernah terrealisasikan dan hanya menjadi kegundahan bagi dirinya, dan ia luap kan dengan sebuah karya yang tak berjudul dan ditulis pada tanggal 29 Oktober tahun 1968, yang kesemuanya hanyalah mimpi.

Anak keempat dari lima bersaudara, keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, kelahiran 17 Desember tahun 1942 ini, selalu menumbuhkan inspirasi bagi orang lain. John Maxwell salah satunya, Maxwell mendapat gelar PhD dari Australian National University pada tahun 1997, mengangkat Soe Hok Gie sebagai sentral penelitian desertasi-nya dan telah di Bukukan; Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Penelitian Maxwell lebih menekankan tindakan dan langkah Soe Hok Gie dalam melawan tirani, dan salah satu kutipan dari catatan harian Soe Hok Gie mengakhiri suatu bab dalam buku John Maxwell, yang di muat di dalam buku Soe Hok Gie, Sekali Lagi, yakni “Aku rasa semua yang ada dalam artikel-artikelku adalah petasan-petasan kecil. Dan aku ingin mengisinya dengan bom”. Tidak hanya itu di tahun 1980-an, setiap aktivis Mahasiswa tidak bisa di katakan sebagai aktivis jika belum membaca catatan harian Soe Hok Gie. Catatan harian Soe Hok Gie yang di bukukan yakni, Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, yang telah banyak menginsprisari para aktivis tahun 80-an, dan lebih mementingkan masyarakat yang terzdalimi oleh kesewenang-wenangan pemerintah di bawah pemerintahan orde baru, dan penguatan itu di lakukan Soe Hok Gie dengan kejujuran dan konsistennya pada idealismenya yang tertuang di catatan hariannya.

Pemikiran Soe Hok Gie yang “frontal” mulai tumbuh pada 4 maret 1957 ketika angka Ulangan Ilmu Buminya di kurangi 3 angka dan menjadi 5. Dendam amarah ketidakadilan mulai muncul pada saat itu, “Hari ini adalah ketika dendam mulai membatu,”tulisnya.

Sebagian kalangan melihat pemikiran Soe Hok Gie adlah pemikiran yang radikal, dan bukan hanya di kalangan yang ia kritisi melainkan kalangan para aktivis yang juga memandang Soe Hok Gie dengan Sebelah mata. Soe Hok Gie tidak hanya mengkritisi para politisi, antek-antek pemerintahan, organisasi pemerintahan, partai politik, tapi ia juga mengkritisi organisasi yang ada di sekelilingnya. Kelakuan ini yang kadang meresahkan pihak yang di kritisinya bahkan pada kesempatan lain ia hampir tertabrak mobil yang di duga adalah suatu kesengajaan.

Tapi terkadang Soe Hok Gie juga masih bertanya kepada dirinya sendiri yang penuh dengan kebimbangan dengan apa yang ia sering lakukan. “Tapi sekarang aku berfikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik, atau pacarnya, tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa. Aku sekarang terlibat dalam pemikiran ini. Sangat pesimis.”

Pemikiran Soe Hok Gie, sangatlah berguna untuk membangun diri atau negara yang berkarakter agar tak terciptanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di benak re-generasi. Ada semacam rasa bersalah ketika sudah dilakukan perwujudan atau penanaman pemikiran idealisasi kepada regenerasi dan regenerasi tersebut melakukan KKN apalagi melanggar Hak Asasi Manusia yang sudah tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945. Kerena di setiap individu, pengelolaan pikiran dan tindakan di padukan antara akal dan “hati”, dan menciptakan suatu tindakan dan pemikiran yang real bukan untuk mencederai antara satu dengan yang lain, dan pengelolaan itu ada pada setiap manusia.

Dan pemikiran Soe Hok Gie yang “radikal” bukan saja hanya mendapat pertentangan melainkan mendapatkan pula dukungan oleh sebagian pihak, salah satunya adalah pilot yang mengemudikan pesawat yang membawa jenazah Soe Hok Gie, saat bercakap-cakap dengan kakak kandung Soe Hok Gie, Arief Budiman. Dan kemudian ia (pilot) bertanya, apakah benar yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie, dan pertanyaan itu di jawab oleh Arief dan di benarkan oleh Arief bahwa itu adalah Soe Hok Gie, adik kandungnya. Pilot tersebut kemudian berkata, “saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus.” Bukan hanya itu, penjual peti mati pun merasa kehilanagn saat ia (penjual peti mati) bertanya saiapakah yang meninggal. Si penjual peti mati agak terkejut saat mengetahui yang meninggal adalah Soe Hok Gie, “Soe Hok Gie yang sering menulis di koran?” tanya penjual peti mati, dan di iyakan oleh salah seorang yang di tugaskan untuk memesan peti mati buat jenazah Soe Hok Gie. Dan penjual peti mati tersebut seketika pula menangis dan yang memesan peti mati pun ikut terkejut, ia bertanya balik kepada penjual peti mati, kenapa ia menangis, dan ia hanya menjawab, “dia orang yang berani, sayang dia meninggal.”

Tak semua orang membenci konsep pemikirannya yang tergolong “radikal” dan malah kebanyakan masyarakat pasti mendukung kegigihan Soe Hok Gie yang mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang tertindas tapi tak menonjolkan taringnya akibat rezim yang otoriter.

Perjalanan kemerdekan yang sebentar lagi memasuki ke 66 tahun, sudah lumayan banyak melewati lika-liku perjalanan, entah dari segi bencana alam yang hampir setiap tahun melanda negara kita, kongkalikong kasus yang terjadi di tubuh badan hukum yang seharusnya menegakkan hukum, konspirasi politik yang banyak mengakibatkan kematian para pejuang keadilan, dan banyak hal yang terlihat di depan mata namun tak tersebutkan. Perjalan inilah yang seharusnya di tanggapi oleh re-generasi “Soe Hok Gie” dan yang harus di tumbuhkan dalam benak pemuda-pemudi Indonesia bahwa, “kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti.... kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

Bahan Bacaan :
-Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstarn, LP3ES.
-Soe Hok Gie, Sekali Lagi, Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya, cet.kedua, Jakarta, KPG, Januari 2010.

0 komentar:

Posting Komentar