Sabtu, 12 Mei 2012

Ekonomi Konstitusi


Oleh : Topikin Abdullah


PEREKONOMIAN Indonesia dinyatakan tumbuh dari waktu kewaktu, tetapi kenapa kemajuan tidak dapat dirasakan oleh rakyat? Kenyataan membuktikan, jalan-jalan di desa tetap belum beraspal, irigasi desa juga banyak yang rusak, harga sembako semakin tinggi, dan industrialisasi jalan di tempat. Sejak awal atau bahkan sebelum kemerdekaan, para founding fathers telah menyadari kelakuan ekonomi kapitalis yang serabutan sehingga dirumuskanlah perekonomian Indonesia di dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 sebagai koreksi total terhadap ekonomi kolonial. Maka, dengan sistem perekonomian berdasarkan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 itu ada perlindungan terhadap segenap sumberdaya yang ada, khususnya sumberdaya alam yang stategis, sehingga dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Apa yang dilakukan oleh founding fathers itu bertujuan agar rakyat tidak lagi menjadi budak, melainkan tuan di negerinya sendiri. Atas dasar itulah kita perlu selalu merujuk dan merajut dasardasar konstitusi yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 untuk menggerakkan perekonomian kita. Sehingga arus utama sistem ekonomi kita harus selalu merujuk kepada konstitusi atau kita sebut Ekonomi Konstitusi.
Ekonomi Konstitusi adalah suatu sistem aktivitas pengelolaan ekonomi negara yang berbasis kepada konstitusi negara, yaitu nilainilai dasar Pancasila sebagai norma dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai pedoman pelaksanaannya. Ekonomi Konstitusi memberikan tekanan tersendiri dalam hal kesejahteraan. Maka dari itu Pasal 33 berada di bawah judul bab “Kesejahteraan Sosial” yang kemudian di dalam amandemen keempat diubah menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.” Artinya seluruh perekonomian yang diamanatkan dan diupayakan dalam Pasal 33 ini harus mengandung substansi berupa peningkatan kesejahteraan sosial bagi rakyat. Sistem ekonomi Kapitalis maupun Neoliberal sesungguhnya juga mengandung capaian kesejahteraan, yakni kesejahteraan individu. Tetapi, kesejahteraan individual bukan kesejahteraan masyarakat. Sehingga kata “Sosial” menjadi suatu yang tidak terpisahkan dari Kesejahteraan dalam pandangan Ekonomi Konstitusi. Meskipun demikian, Ekonomi Konstitusi juga tidak mengarahkan Indonesia ke dalam bentuk komunis atau komando dimana negara tidak mengakui hak milik individu. Dalam Ekonomi Konstitusi disebutkan dengan tegas bahwa cabang-cabang produksi penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga Ekonomi Konstitusi sama sekali tidak membatasi inovasi dan tetap mengakui hak milik perorangan. Tetapi fenomena yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika politik dan ekonomi yang terjadi di Indonesia, semakin memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan arah perekonomian dari apa yang telah dikonsepkan oleh founding fathers dan diamanatkan lewat UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Maka, tidak heran jika tujuan Ekonomi Konstitusi untuk mencapai kesejahteraan sosial pun semakin terabaikan, dan penyebabnya sudah jelas yakni serangkaian kebijakan dari pemimpin negeri yang cenderung mengarah kepada sistem perekonomian pasar atau Neoliberal. Padahal dengan semboyan sistem liberal laissez faire laiissez passer, akan memberikan hak sepenuh-penuhnya kepada individu untuk “menghisap” dan menindas individu lain sesama manusia. Sehingga tidak mengherankan lebih dari 31 juta jiwa rakyat Indonesia masih hidup miskin dengan penghasilan kurang dari Rp 232 ribu perbulan atau sekitar Rp 7.700 per hari, sementara sebagian kecil masyarakat dapat hidup dengan penghasilan ratusan juta bahkan miliaran rupiah perbulan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang selalu dibangga-banggakan juga tidak menyentuh masyarakat kecil dan cenderung dinikmati oleh beberapa orang atau kelempok saja. Sedangkan masyarakat kecil semakin disulitkan dengan efek sampingnya berupa penurunan daya belinya akibat inflasi (data tahun 2010 mencapai 6,96 persen). Betapa tidak, hal ini terjadi jika faktanya 8,3 juta orang tidak memperoleh pekerjaan (menganggur), sementara akses masyarakat terhadap sumberdaya alam juga semakin sulit akibat terlalu terbukanya dan liberalnya perekonomian, sehingga sangat banyak sumberdaya alam yang dilarikan ke luar negeri sebelum kebutuhan dalam negerinya terpenuhi dan kesejahteraan sosialnya tercapai. Parahnya, penyimpangan ini tidak hanya terjadi pada level implementasi di pasar riil antara pemilik modal dan buruh, antara produsen dan konsumen, melainkan pada level pengambilan kebijakan (policy maker), sehingga penyimpangan ini tak sekedar tercatat sebagai penyimpangan tetapi bisa dikatakan sebagai bentuk “penghianatan” terhadap konstitusi. Bayangkan saja, betapa pemilik modal asing dapat memiliki hampir semua hal di negeri ini, termasuk kepemilikan terhadap bank hingga 99 persen saham. Bandingkan dengan Malaysia dan Australia yang masing-masing memberikan peluang kepemilikan asing sebesar 20 persen dan 50 persen. Bahkan kebijakan perdagangan pun seolah tidak berorientasi lagi terhadap peningkatan kemampuan produksi domestik, bahkan untuk komoditas pangan. Hal ini tercermin dari rencana pembebasan bea masuk komoditi pangan. Ini mengindikasikan pemerintah tidak mampu memenuhi ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau melalui konsep pertanian tangguh, tetapi hanya melalui pembebasan bea masuk yang memberi kesan bahwa pemerintah “Pemalas”. Dengan demikian sesungguhnya penyimpangan terhadap Ekonomi Konstitusi di Indonesia saat ini merupakan ketidakmampuan pemerintah meredam gejolak globalisasi ataukah memang pemerintah berupaya menunjukkan dirinya sebagai antek-antek neolib? Maka dari itu, penulis mengajak masyarakat untuk memahami Ekonomi Konstitusi sebagai ideologi dalam berbagai kegiatan ekonomi sehingga jelas mana yang “halal” dan mana yang “haram” dalam ekonomi dari sudut pandang konstitusi. Terlebih di tengah meningkatnya tuntutan terciptanya demokrasi dalam politik, khususnya pasca runtuhnya Orde Baru, harus sama-sama dipahami bahwa demokrasi politik saja tidak cukup dan tidak akan terwujud tanpa adanya demokrasi ekonomi yang berdasar pada konstitusi. Karena tanpa adanya demokrasi ekonomi, maka akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi yang pada akhirnya akan membentuk kekuatan ekonomi yang bisa “membeli” kekuasaan politik.
Menegakkan Ekonomi Konstitusi di tengah himpitan gejolak globalisasi maupun penyebaran paham Neolib memang membutuhkan keberanian dari seorang pemimpin. Ekonomi Konstitusi tidak menghendaki konsentrasi kekuatan ekonomi, tidak menghendaki kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan individu semata, melainkan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi untuk kemakmuran rakyat serta kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan sosial.

0 komentar:

Posting Komentar