Selasa, 24 April 2012

Catatanku 5 : Aku dan Kehidupan Spritual Keluargaku






Saya berasal dari keluarga peziarah. Kami menziarahi makam-makam orang yang sudah meninggal, terutama keluarga kami—para leluhur yang mewariskan gen kehidupan bagi hidup kami. 

Tentu saja di sana ada polemik; Sebagian dari kami menganggap ziarah adalah ritual yang tidak perlu sebab tidak diajarkan dalam agama, sebagian lain menganggap ziarah hanya merupakan tindakan kuno yang tak memiliki visi masa depan yang jelas dan cenderung buang-buang waktu. Anggota keluarga kami yang NU, Muhammadiyah, atau Persis sering berdebat soal bagaimana hukum ziarah ini dalam Islam… Dalil-dalil keluar seperti mereka tidak akan pernah mati… Tetapi pada akhirnya semua anggota keluarga kami tak bisa mendebat kesimpulan nenek: Ziarah adalah momen menengok perasaan orang-orang yang kita sayangi. 

Tidak ada yang berani mendebat nenek. Toh, agama memang tak pernah melarang kita untuk menengok perasaan orang-orang yang kita sayangi, kan? Di sanalah baru saya mengerti: makam memang bukan sekadar tempat mengubur jasad orang yang sudah meninggal. Lebih dari itu, makam adalah tempat menjaga perasaan orang-orang yang kita sayangi. 

Di hari lebaran atau hari-hari lainnya, jika kami berziarah ke makam kakek, kata nenek, meskipun kami ke sana untuk mendoakan kakek, sesungguhnya memang tidak ada hubungannya dengan ajaran agama: Doa adalah simbol bagi kasih sayang. Paling tidak, masih kata nenek, karena dulu kakek mengajarkan nenek berdoa, dan nenek mengajarkan anak-anaknya berdoa, dan kemudian turun sampai ke cucu dan cicitnya… Mendoakan kakek di makamnya barangkali semacam berterima kasih: Terima kasih, Kakek. Kalau tidak ada kakek, belum tentu kami bisa berdoa.

Bukankah mendoakan bisa di mana saja? Bukankah Tuhan Maha Mendengar dan semua doa akan sampai? Itu benar, nenek juga selalu mengajarkan itu, “Doakan kakek di mana saja, tidak perlu di makamnya,” katanya. Tapi jika salah satu dari anggota keluarga kami ada yang tidak pergi ke makam, misalnya di hari lebaran, nenek biasanya akan marah atau sekurang-kurangnya kesal. “Biarkan, nanti dia tahu sendiri! Tapi kalau kamu mau hidup sukses dan bahagia, hormati perasaan orang-orang yang menyayangimu.” Saya masih ingat nasihat itu—

Tentu saja saya bertanya-tanya: Apa hubungannya hidup bahagia, tercapai cita-cita, sukses, dengan makam kakek? 

Entah bagaimana caranya, sepertinya nenek tahu apa yang saya pertanyakan. “Kakekmu bekerja keras banting tulang siang-malam karena ingin anak-cucunya hidup sukses dan bahagia,” kata nenek waktu itu.

Saya mengangguk. Ya, itu dia, cita-cita kakek telah berubah menjadi ‘perasaan’—dan perasaan selalu memiliki kekuatan jauh lebih dahsyat dari sekadar cita-cita.

Kalau kamu setuju dengan cita-cita kekek, teruskan. Rawat perasaan dan impian kakek sebagai perasaan dan impianmu sendiri.

Saya tersintak! Itu dia yang saya lupakan: Visi sukses saya tentang masa depan tak pernah berpijak pada akar yang kuat. Tentu saja, bagaiamana saya akan memiliki akar yang kuat jika saya tak mengerti perasaan kakek tentang ‘masa depannya’—masa kini ayah saya, saya, dan kami semua!? 

Sejak saat itu, ziarah bagi saya bukan lagi ritual menengok jasad mati yang terbaring tak berdaya, tetapi momen kebangunan untuk melanjutkan hal-hal besar yang belum selesai dicapai oleh mereka yang telah tiada. Jika saya menghormati perasaan kakek, tentu saya akan melanjutkan perjuangannya dan mewujudkan impiannya. Di sana, dalam ziarah, ternyata sesungguhnya saya tidak sedang sepenuhnya mendoakan kakek, tetapi juga sekaligus mendoakan saya sendiri! 

Demikianlah, selama ini barangkali kita terlalu egois dengan cita-cita dan rencana bahagia kita sendiri—seraya melupakan perasaan orang-orang yang selama ini menyayangi kita. Dan, ah ya, setiap orang sesungguhnya punya impian dan cita-cita yang ingin diwujudkan. Bedanya, ada orang-orang yang berhasil mencapainya selama mereka hidup, ada yang tidak sanggup mencapainya dan berharap agar anak atau cucunya bisa meneruskan perjuangannya—seperti kakek saya. Tentu saja kita berharap bisa menjadi golongan yang pertama, tetapi jika Hidup tak mengizinkannya dan kita terpaksa harus menjadi golongan yang kedua: semoga anak dan cucu kita kelak menjadi orang-orang yang menyayangi dan menghormati perasaan kita. 

Saya masih ingat nasihat itu, kali ini ayah yang menyampaikannya, “Kata kakek, di masa depan manusia hanya akan dibedakan menjadi tiga golongan: orang sukses, orang gagal, dan orang yang sudah meninggal. Semua orang akan menjadi golongan ketiga, tetapi golongan pertama dan kedua sangat ditentukan oleh perjuangan.

Ah, malam ini, mungkin saya memang harus menyanyikan lagi lagu dari My Chemical Romance dengan penuh penghayatan, Welcome to the Black Parade

0 komentar:

Posting Komentar