Rabu, 11 Juli 2012

Monodialog ?



Aku pernah merasa menjadi manusia paling dikhianati di dunia, atau paling bersalah, atau paling bermasalah, atau paling tak beruntung hidupnya. Aku pernah berjalan sendirian di pinggir jalanan kota, pada senja penghabisan, sementara bus dan mobil-mobil berjalan seperti manusia-manusia lainnya yang tak perhatian. Aku pernah merasa tak punya teman unuk sekadar mendengarkan apa yang kurasakan.” Katamu, pilu. 

Ada perasaan sedih yang tak bisa kujelaskan, seperti kabel-kabel listrik yang menggantung di langit senja sebuah kota, atau spanduk dan papan-papan reklame: Bagaimana caranya mengurai kompleksitas menjadi sesuatu yang sederhana dan nyata? Kemana sesungguhnya manusia harus berjalan—untuk menemukan kebahagiaan? Sementara mal dan pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, juga restoran, yang selalu tampak ramah mengajak kita berjunjung ke sana: Tak pernah benar-benar jujur menerima diri kita apa adanya. 

Kita semua memiliki hal-hal yang bisa kita tangani lebih baik daripada orang lain melakukannya. Sayangnya, kadang-kadang kita kehilangan kemampuan terbaik itu—justru di saat-saat ketika kita benar-benar membutuhkannya. Kadang-kadang ruang yang kita miliki sangat terbatas untuk memperbolehkan orang lain berada di sana. Kadang-kadang kita hanya ingin sendirian. Sampai kita berjalan di lorong stasiun, atau berdiri di eskalator pusat perbelanjaan, melihat kemurungan, rasa sedih, kekhawatiran yang sama di wajah banyak orang: Ternyata kita semua punya masalah.” Katamu, ragu-ragu. 

Aku mengerti. Aku pernah berdiri di atas sepatu yang kau kenakan. Tapi ke mana kita harus pergi? Menuju kehidupan yang mana kita harus pergi? Benarkah kita harus pergi? Orang-orang yang kita sangka berbahagia, ternyata menyimpan kesedihan dan penderitaan yang lebih dalam dari yang bisa kita bayangkan. 

Kadang-kadang aku kangen rumah. Tak ada satupun rumah yang tak memiliki masalah. Tetapi di rumah, semua masalah selalu terasa lebih mudah. Jika kau bertanya kenapa? Aku tak bisa menjelaskannya.” Katamu, masih ragu-ragu.

Kemudian aku ingat rumah: Oh, aku merindukan kenyamanan dan ketidaknyamanan sebuah rumah. Aku merindukan asap nasi goreng yang mengepul dari dapur, juga suara batuk Ibu, terhirup dan terdengar hingga ruang tamu. Oh, aku merindukan bau meja makan rumah yang tak pernah kutemukan di mana-mana. Ibu dan Ayah pernah bertengkar, tetapi mereka tetap berusaha menjadi orang tua yang baik. Utang-utang ayah. Tagihan listrik yang naik. Pacar baru kakak yang selingkuh dengan sahabatnya. Adik yang cedera seusai pertandingan sepakbola. Oh, mungkin aku harus pulang, dalam pengertian sesungguhnya.

Kenapa aku menangis? Kenapa kamu menangis? Sebagian dari kita percaya bahwa kita bisa membuat perbedaan, kita bisa mengubah sesuatu, hingga saatnya kita benar-benar terbangun, dan menyadari bahwa kita telah gagal.” Katamu, sedih.

Ah, mengapa kita selalu membuat diri kita merasa bersalah? Mengapa kita cenderung memilih menjadi pemurung? Mengapa kita tak pernah mengucapkan terima kasih pada diri kita sendiri—atas hal-hal baik, juga hal-hal buruk, yang sudah kita lakukan sejauh ini? Terima kasih telah selalu bertahan, dan telah selalu memutuskan untuk kembali berjalan... 

Terima kasih,” katamu tiba-tiba, pada diri sendiri, “Untuk hal-hal yang terkatakan dan tak terkatakan.

Lalu aku mengirim SMS untuk nomor teleponku sendiri: Terima kasih. Hanya kamu yang bisa menerimaku apa adanya. Dan hanya dengan membuatmu bahagia, maka akupun akan berbahagia. 

Sumber :berbagai web dan kalimat fahdjibran

0 komentar:

Posting Komentar