Sabtu, 30 Juni 2012

Tiga Komponen Brand Story


Siapa yang tidak senang dengan cerita. Sejak kecil, mungkin, kita sudah terbiasa disuguhi aneka cerita. Dan, cerita itu kebanyakan masih “nyangkut” di memori kita. Dongeng-dongeng di masa kecil masih terngiang di benak kita. Sebab itu, tak jarang, banyak merek yang sekarang ini mengomunikasikan dirinya dengan cerita—agar mereknya selalu terngiang di benak pelanggan. Cerita ini dikemas sedemikian rupa dalam bentuk iklan serial, film, dan sebagainya. Cerita lebih disukai karena melibatkan emosi penonton, pembaca, maupun pendengar. Karena menyentuh emosi, cerita ini tidak cepat lekang dari ingatan mereka. Tulisan ini merupakan adaptasi dari kultwit yang dilakukan oleh @the_marketeers pada Sabtu, 15 Januari 2011.

Cerita menurut Robert McKee—seorang penulis skenario—menjadi salah satu cara untuk menyakinkan orang. Ini cocok sekali dengan strategi marketing dalam merebut kepercayaan konsumen. Sudah banyak pelaku bisnis yang menggunakan model berkisah ini dalam memperkenalkan produknya. Steve Jobs, misalnya, menjadi salah satu pebisnis yang doyan bercerita seputar produk-produk teranyar buatan Apple (bdk. Marketing 3.0—2010). Bahkan, boleh dibilang Steve Jobs merupakan salah satu kampiun storyteller dalam bisnis. Hal ini bisa kita lihat pada kampanye Jobs atas produk-produk Apple—dari iPod, iPhone, sampai iPad.

Menurut Doglas B.Holt dalam buku “How Brands Become Icons: The Principles of Cultural Branding”, sebuah merek bisa eksis bila bisa menjadi cultural brand—merek yang dididentifikasikan dengan pergerakan budaya. Ada tiga komponen utama dalam sebuah cerita merek ini, yakni karakter, plot, dan metafora. Persis seperti halnya cerita biasa lainnya.
Bagi Holt, merek memiliki karakter yang hebat ketika ia mampu menjadi simbol pergerakan yang bertujuan untuk menjawab aneka problem sosial dan mengubah kehidupan banyak orang. The Body Shop, misalnya, sebagai simbol aktvitas sosial. Walt Disney sebagai simbol keluarga ideal. Wikipedia sebagai simbol kolaborasi. eBay sebagai simbol kekuasaan pengguna.

Agar karakter ini bisa hidup di tengah masyarakat, butuh plot. Ada tiga jenis plot yang bisa digunakan untuk membuat brand story, yakni challenge, connection, dan creativity. Dalam plot challenge, sebuah merek diposisikan sebagai seorang tokoh cerita yang lemah tapi berani melawan kekuatan besar demi memperjuangkan nilai-nilai. The Body Shop, misalnya, membuat kisah tentang petani di negara berkembang yang memperjuangkan perdagangan yang adil.Ada lagi plot connection yang menghubungankan banyak orang tanpa membedakan status, gender, kebangsaan, dan sebagainya. Contoh paling gamblang adalah Facebook. Lalu, ada plot creativity, yang mengusung merek sebagai pemecahan persoalan dengan cara gemilang.

Nah, tidak semua kisah dengan gampang dimengerti oleh orang yang mendengar, membaca, maupun menontonnya. Sebab itu, cerita membutuhkan perumpamaan atau metafora.

Siapkah merek Anda menjadi sebuah kisah yang selalu diingat oleh pelanggan?


0 komentar:

Posting Komentar