Bogor Jawa Barat

Institute Pertanian Bogor.

Universitas Negeri Yogyakarta

Fakultas Tekhnik.

SMECDA

Kementrian Koperasi dan UKM Jakarta.

BPU UPI

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Sabtu, 19 Mei 2012

Mata Yang Selalu Bertanya


Cinta itu, bagi hidupku, adalah semua senyummu, semua gerakmu,semua gesturmu. Cinta itu, bagi hidupku adalah sebuah pernyataan untuk memastikan bahwa ,

telah kujadikan jiwaku mengikatmu

dengan simpul mati itu

pegang peganglah

kemudian rasakan jantungku yang berdebar atasmu

dari setiap ritmik

dari setiap titik


Lembayung


Demikianlah, tidak pernah ada yang benar-benar buruk bagi kita: Selalu ada sisi-sisi yang sebenarnya bercahaya. Hanya tinggal bagaimana kita melihatnya. Kemudian saya berpikir lagi, dan lagi, dan lagi: Rasanya sudah selesai saatnya bagi kita untuk murung dan bersedih. Bila kenyataannya dunia memang tak selalu indah, maka kitalah yang harus membuatnya menjadi indah—untuk kemudian memberi tahu semua orang bahwa segalanya bisa menjadi demikian indah jika kita bisa memahaminya.

Ditulis di atas Kamar Pake Laptopnya M. Arief Rizqillah
19 Mei 2012

Untukmu Muhammadku




Saat jutaan Muslim berharap untuk bertemu dengannya walaupun dalam mimpi, apakah justru seorang non-Muslim yang berhasil bertemu dengannya? Akankah justru seorang pendosa yang bertemu dengan sang maha-manusia?

Masa Depan, Ratu Malamku




apa yang ditawarkan masa depan untuk kita
sesungguhnya, bukan apa-apa
tak seindah malam-malam kita
yang selalu menghadirkan cerita tentang sebuah kursi di halaman belakang
di mana setiap pagi tiba,
kita mendapati tubuh kita begitu dekat dalam dekap
di mana setiap sentimeternya selalu tertulis kenangan-kenangan kecil kita
yang semestinya terlupakan, namun tak pernah bisa kita lupakan
di mana kita rekam seluruh kenangan kita
dan kita gumamkan doa serta harapan untuk masa depan kita
di mana kau dan aku selalu tak pernah beranjak darisana
hingga hari menjelma esok yang menyadarkanku
bahwa kau tak lagi berada di dekatku
apa yang ditawarkan masa depan untukku?
sesungguhnya, adalah hari-hari dengan senyummu
gelak tawamu,
cerita-cerita kecilmu,
manjamu,
pelukmu,
dirimu.
masa depan ternyata hanyalah sebuah kursi di halaman belakang
di mana aku duduk sendiri di sana
merasa bukan siapa-siapa
merasa bukan apa-apa

Kobong Darul Walad,,, 19 Mei 2012

Bakar Saja Al-Qur'anmu

 Bakar Al-Quran
Pembatalan pembakaran Al-Quran hanya omong kosong belaka. Faktanya, dua pendeta justru melakukannya. Yang melakukan bukan Pendeta Terry Jones, tapi kedua pengikutnya. Pendeta Bob Old bersumpah melaksanakan aksinya membakar Al-Quran. Bersama Pendeta Danny Allen, Old melakukan aksinya di hadapan sekelompok orang yang sebagiannya merupakan awak media, Sabtu (11/9) lalu, sama persis pada hari yang dideklarasikan Terry Jones.
Kedua pendeta itu menyiram dua buah mushaf dan sebuah teks Islam lainnya dengan cairan pembakar, lalu menyulutnya dengan api. Mereka menyaksikan bersama-sama kitab suci umat Islam itu menjadi abu.
Aksi dua pendeta itu dilakukan di pekarangan belakang kediaman Old. Mereka mengatakan aksinya merupakan pesan dari Tuhan. Old mengatakan gereja telah mengecewakan banyak orang karena tidak mendukung aksinya. “Saya yakin bahwa sebagai negara kita berada dalam bahaya,” ujarnya sebagaimana dikutip media online Tennessean (12/10).
“Ini adalah buku berisi kebencian, bukan cinta,” katanya sambil memegang Al-Quran sebelum kemudian membakarnya. “Ini adalah kitab palsu, Nabi Muhammad adalah nabi palsu dan itu merupakan wahyu palsu,” tambahnya.
Kedua pendeta itu lantas melakukan apa yang disebutnya sebagai “demonstrasi damai” dengan sedikit gegap gempita. Delapan orang wartawan ikut menyaksikan aksi kedua rohaniwan gereja itu. [Gila, Al-Quran Ternyata Jadi Dibakar, metrotvnews.com]
“Anjing!” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki saya keluar tanpa kontrol.
“Setan!” teriak saya sekali lagi.
Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapan saya! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Jelas saya berang mendengar ucapannya. Emosi saya naik pitam. Dada saya turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulut saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”
“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajah saya. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”
Napas saya turun naik, mata saya memerah, tangan saya mengepal. “Terkutuklah kau!” teriak saya.
“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.
Tiba-tiba saya tersintak. Tiba-tiba saya merasa harus menemukan Al-Quran milik saya yang entah saya simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Saya terus mencari. Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?Saya membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quran saya? Saya mulai resah mencari di mana Al-Quran saya. Saya ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, saya tak menemukan Al-Quran saya!Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?
“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”
Saya mulai panik dan resah, kemarahan saya mulai pudar, ternyata saya tak bisa menemukan Al-Quran saya sendiri.
“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Dada saya berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus mencari Al-Quran saya. Di mana Al-Quran saya? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah saya ambil ternyata bukan: Life of Mao. Saya kecewa. Saya terus mencari sambil diam-diam air mata saya mulai meluncur di tebing pipi.
“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaran saya. Tetapi kini saya tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dada saya. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup saya tahan.
Akhirnya saya menyerah. Saya tak menemukan Al-Quran saya di mana-mana di setiap sudut rumah saya!
Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatap saya dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak memperdulikannya selama ini?”
Saya terus menangis. Dada saya berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dada saya, mendesir gamang ke seluruh persendian saya.
Tiba-tiba saya ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quran saya ada di situ!
Saya bergegas bangkit dari tubuh saya yang tersungkur, saya berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, saya segera ingat di situlah saya menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… saya mendapatkannya: Al-Quran saya!
Saya menatap Al-Quran saya dengan tatap mata rasa bersalah. Saya mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian Saya mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecil saya belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dada saya bergemuruh, air mata saya menderas.
Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.
Saya masih mendekap Al-Quran saya, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!
“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!
“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”
Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!
Saya menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam ingatan saya yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diri saya?
“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”
Tuan Setan tertawa lepas.
“Maafkan…” suara saya tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu saya bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.
“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.
Saya mencari masjid, saya ke mal, saya ke pasar, saya ke terminal, saya ke sekolah, saya ke mana-mana… Saya ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Saya ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Saya masih bergegas dengan langkah yang galau. Saya ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan saya sendiri tak memahaminya? Saya ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?
Saya terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?
Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?
Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!
[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]
Saya terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskan saya melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah saya harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah saya kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika saya jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”
Saya terdiam mendengar kata-kata Tuan Setan yang terakhir, “Tuan Setan? Sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”
Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang membakar Al-Quranmu!”
Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.
Fah

Jumat, 18 Mei 2012

Pascasarjana Universitas Diponogoro


Universitas Diponogoro Semarang 
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
















Ilusi MDGs Mengentaskan Kemiskinan





Pengantar
Jurnal-ekonomi.org – Pada 20-22 September 2010 lalu PBB menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Millennium Development Goals (MDG) di New York. KTT MDG yang mengangkat tema We Can End Poverty by 2015 dihadiri kurang lebih 150 kepala negara dan pemerintahan. KTT berupaya untuk menggalang komitmen para pemimpin dunia memerangi kemiskinan.[1]
Hasil KTT MDG tersebut terangkum dalam sebuah dokumen yang berjudul Keeping the Promise: United to Achieve the Millennium Development Goals”. Inti rekomendasi yang diadopsi dalam Keeping the Promise adalah menguatkan kembali komitmen para pemimpin dunia terhadap MDGs dan membuat langkah konkrit untuk mencapai tujuan MDGs 2015.[2]
MDGs bermula dari KTT Milenium yang diselenggarakan PBB pada September 2000 dengan hasil Deklarasi Milenium. Pada sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan laporan dengan judul Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration. Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang kemudian dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs).[3]
Delapan Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) tersebut terdari atas:
  1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
  2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
  3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  4. Menurunkan angka kematian anak
  5. Meningkatkan kesehatan ibu
  6. Memerangi HIV dan aids, malaria dan penyakit lainnya
  7. Memastikan kelestarian lingkungan
  8. Mempromosikan kerjasama global untuk pembangunan
Poin pertama MDGs berisi target pada tahun 2015 jumlah penduduk miskin dunia yang berpenghasilan di bawah $1 dapat dikurangi setengahnya dari 1,3 milyar berdasarkan kondisi tahun 1990.[4]
Kemiskinan yang Berkelanjutan
Upaya pencapaian target MDGs sudah berjalan 10 tahun sejak diformulasikan dalam Peta Jalan Menuju Implimentasi Deklarasi Milenium PBB. Waktu untuk mencapai target MDGs hanya menyisakan 5 tahun lagi. Namun masalah kemiskinan ekstrim saja masih jauh dari harapan. Dalam The Millennium Development Goals Report 2010 tingkat kemiskinan ekstrim dunia dengan standar 1,25 dollar per hari mencapai 1,4 milyar pada 2005.[5] Jumlah ini lebih tinggi dari 1990 dengan standar $1 per hari.
Tantangan mengurangi jumlah kemiskinan ekstrim semakin berat dengan krisis keuangan global, krisis energi, dan krisis pangan dunia. Menurut Bank Dunia kemiskinan ekstrim bertambah 50 juta pada 2009 dan 64 juta tahun ini. Krisis membuat tingkat kemiskinan bisa lebih tinggi pada 2015.[6]
Permasalahan yang dihadapi tidak hanya masalah jumlah kemiskinan tetapi juga ketimpangan. Tahun 2006, dari sisi Produk Domestik Bruto 6,5 milyar penduduk dunia menghasilkan kekayaan $48,2 trilyun. Penduduk negara-negara maju yang berjumlah 1 milyar menghasilkan kekayaan $36,6 trilyun atau 76% dari PDB dunia. Sebaliknya 2,4 milyar penduduk dari negara-negara berpendapatan rendah hanya menghasilkan $1,6 trilyun.[7] Setiap 1 penduduk negara maju memiliki pendapatan rata-rata 72 kali lipat dibandingkan pendapatan penduduk di negara yang berpendapatan rendah.
Angka tersebut menjelaskan jurang pendapatan semakin lebar. Sebab pada tahun 1960 perbedaannya mencapai 30 kali lipat.[8] Padahal sebagian besar sumber daya manusia dan sumber daya alam terdapat di negara-negara berpendapatan rendah.
Jika dibandingkan dengan era kolonialisme perbedaan ketimpangan semakin jauh. Tahun 1913 perbedaannya 11 banding 1.[9]Ini indikator yang menggambarkan tingkat penghisapan pada zaman modern jauh lebih dasyat dibandingkan zaman kolonialisme.
Ketimpangan juga terjadi antara penduduk kaya dengan mayoritas penduduk dalam sebuah negara. Sekitar 497 orang paling kaya di dunia pada 2006 memiliki kekayaan $3,5 trilyun.[10] Perbandingannya dengan pendapatan penduduk negara-negara maju sendiri mencapai 14 ribu kali lipat.
Ini bukti sasaran MDGs tahun 2015 hanyalah ilusi. Kemiskinan tidak dapat berakhir tetapi terus berkelanjutan. Sementara negara-negara maju yang diharapkan menjadi penolong juga menghadapi masalah yang tidak kalah pelik.
Di Amerika Serikat misalnya kemiskinan terus bertambah. Sejak 2000 kemiskinan meningkat dari 11,3% menjadi 14,3% pada 2009. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pun menjadi 43,6 juta orang.[11]
AS juga menanggung rekor hutang yang paling buruk. Sejak Deklarasi Milenium PBB September 2000, hutang publik AS $5,6 trilyun meningkat 2,4 kali lipat menjadi 13,6 trilyun dollar pada tahun ini.[12] Pembengkakkan hutang didorong oleh defisit anggaran yang semakin besar. Tahun ini defisit AS mencapai 1,294 trilyun dollar sedangkan pada tahun lalu defisit anggaran 1,416 trilyun dollar.[13]
Ilusi MDGs
MDGs memposisikan kebergantungan dunia kepada negara-negara maju, Bank Dunia dan IMF. Jika tidak ada komitmen dalam memberikan bantuan pembangunan, pemotongan hutang, dan membuka akses pasar bagi ekspor negara-negara berkembang, seolah-olah kemiskinan dunia tidak dapat dientaskan.[14]
KTT MDG September 2010 semakin mengukuhkan pola kebergantungan tersebut. Mengapa MDGs mengukuhkan kebergantungan? Padahal negara-negara maju yang diharapkan menjadi fondasi dalam memberikan bantuan sedang terlilit hutang publik dan defisit anggaran yang sangat besar.
Tahun ini defisit anggaran AS setara 10% PDB-nya. Rasio defisit Inggris 13,3%, Perancis 8,6%, Jepang 8,2%, Italia 5,4%, Jerman 5,3%, dan Kanada 5,2%. Mereka juga terlilit hutang yang terus bertambah. Hutang publik AS 96,2% PDB, Jepang 104,6%, Italia 100,8%, Perancis 60,7%, Inggris 59%, Jerman 54,7%, sedangkan Kanada 32,6%.[15]
Secara rasional tidak mungkin negara-negara maju di tengah permasalahan berat dapat memecahkan masalah kemiskinan dunia ketiga. Justru mereka sedang memerlukan sumber daya untuk membiayai krisis.
Tidak aneh pola kebergantungan dalam MDGs adalah strategi untuk menjebak dunia dalam lingkaran setan ekonomi. Mereka berkepentingan mengalihkan perhatian negara-negara berkembang dan terkebelakang dari masalah yang sebenarnya agar dunia tidak memahami kerusakan Kapitalisme dan penjajahan modern (neoimperialisme).
Karenanya sangat logis MDGs tidak berbicara tentang apa yang menjadi akar masalah kemiskinan dan bagaimana metode mengatasinya. MDGs tidak sedikit pun menggugat penjajahan ekonomi yang dilakukan negara-negara maju dan tidak juga berbicara sisi fundamental kerusakan ekonomi Kapitalis yang menjadi penyebab krisis pangan, krisis energi, serta krisis ekonomi dan keuangan.
MDGs hanya berisi seruan dan komitmen belaka. KTT yang digelar pun hanya menegaskan kembali seruan dan komitmen untuk mencapai delapan sasaran MDGs dengan slogan We Can End Poverty by 2015. Bahkan untuk memperkuat opini seruan MDGs, para selebritis dan olahragawan dunia menjadi bagian penting dalam kampanye MDGs.
Memformat Ulang Struktur Ekonomi
Kemiskinan dan ketimpangan merupakan problem yang timbul dari kekacauan struktur ekonomi. Inti masalahnya terletak pada distribusi kekayaan. Sehingga untuk memecahkan masalah kemiskinan harus fokus pada masalah ini. Pertanyaannya, model distribusi kekayaan yang seperti apa yang dapat menjadi solusi?
Sistem ekonomi Kapitalis menciptakan struktur ekonomi yang timpang disebabkan faktor kebebasan kepemilikan yang mendorong setiap orang berorientasi profit dan materialistik. Siapa yang kuat merekalah yang menang yang lemah mati. Di sini berlaku hukum alam.
Kapitalisme tidak hanya menciptakan struktur di mana sejumlah kecil individu menghisap masyarakat, tetapi menjadikan negara-negara kapitalis dan korporasinya sebagai “drakula” yang menghisap sumber daya ekonomi dunia.
Untuk itu dunia harus memformat ulang struktur ekonominya. Model yang diajukan Taqiyuddin an-Nabhani[16] dengan berpijak pada syariah Islam dapat dijadikan solusi untuk masalah ini.
Struktur pertama yang harus dirombak adalah sistem kepemilikan. Islam membagi kepemilikan menjadi kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu diakui karena merupakan bagian dari hak manusia untuk mempertahankan hidupnya. Kepemilikan individu diatur agar tidak menzalimi manusia lainnya. Karena itu tidak boleh individu menguasai aset dan sumber daya yang seharusnya masuk dalam kepemilikan negara atau pun kepemilikan umum.
Struktur kedua yang harus dirombak adalah yang berkaitan dengan masalah mengembangkan kekayaan atau investasi. Sistem ekonomi kapitalis menciptakan kegiatan ekonomi berbasis riba dan judi sehingga perbankan dan bursa saham menjadi poros ekonomi. Akibatnya ekonomi didominasi sektor keuangan yang mempercepat tingkat ketimpangan ekonomi dunia. Sektor ini pula yang menjadi sumber krisis dunia dan berdampak pada penciptaan kemiskinan.
Dalam Islam semua transaksi ekonomi dan pengembangan kekayaan harus terikat hukum syara’ dengan akad-akad yang syar’i dan adil. Wilayah transaksi pun hanya berada di sektor riil pada basis-basis kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah. Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sisi moneter. Sistem moneter hanya berkaitan dengan sistem mata uang emas dan perak tidak ada riba, judi, dan spekulasi.
Struktur ketiga adalah terciptanya suatu kondisi di mana setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Politik ekonomi Islam harus menjadi basis kebijakan ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah politik yang menjamin setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Politik ini mencegah kebiijakan negara yang pro pemilik modal dan anti rakyat sebagaimana ekonomi liberal yang dijalankan Indonesia saat ini.
Langkah Perubahan
MDGs bukanlah solusi. MDGs menjadi alat imperialisme negara-negara Kapitalis untuk mengalihkan perhatian dunia dari masalah sebenarnya yakni kerusakan ekonomi dan penjajahan. MDGs juga semakin memperkokoh kebergantungan terhadap negara-negara maju.
Jalan yang harus ditempuh adalah memformat ulang struktur ekonomi dunia dengan sistem ekonomi Islam. Untuk mencapainya langkah perubahan harus dilakukan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangunkan kesadaran dunia akan masalah yang sebenarnya. Langkah kedua memutus mata rantai penjajahan negara-negara Kapitalis. Langkah ketiga adalah mewujudkan sistem khilafah yang akan memimpin dunia membebaskan diri dari penjajahan dan kemiskinan.[JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]
FOOTNOTE:

[1] UN Department of Public Information, 2010. Press Release: United Nations Convenes World Leaders to Deliver on Anti-Poverty Commitments, 13 September.
[2] UN Department of Public Information, 2010. Press Release: UN Summit Concludes with Adoption of Global Action Plan to Achieve Development Goals by 2015, 22 September.
[3] General Assembly, 2001. Report of Secretary General: Road Map Towards the Implementation of the UN Millennium Declaration, 6 September.
[4] Ibid, hal 20.
[5] United Nations, 2010. The Millennium Development Goals Report 2010: We Can End Poverty 2015, hal 6.
[6] Ibid, hal 7.
[7] Globalissues.org, 2009. Poverty Facts and Stats, 22 Maret.
[8] Ibid.Oleh Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI